Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Grhasia, Pakem, Sleman sempat tergenang banjir saat hujan deras yang mengguyur wilayah tersebut pada Senin (7/11) lalu. Suasana banjir di rumah sakit tersebut sempat beredar di media sosial.
"Iya betul. Di RS Grhasia dibelah oleh saluran irigasi yang membentang dari utara ke selatan. Nah volume air melebihi kapasitas tampung, meluap ke kanan kirinya," terang Direktur RSJ Grhasia Yogyakarta Ahmad Akhadi saat dimintai konfirmasi wartawan, Senin (7/11). Berikut sejarah RSJ Grhasia Sleman.
Terlepas dari peristiwa tersebut, rumah sakit itu ternyata memiliki perjalanan sejarah yang panjang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengutip dari laman resmi grhasia.jogjaprov.go.id, Rabu (9/11/2022) sebelum memiliki nama resmi RSJ Grhasia, namanya adalah Koloni Orang Sakit Jiwa (KOSJ) pada tahun 1938. RSJ Grhasia telah melewati tiga masa dengan proses yang sangat panjang yaitu masa perjuangan (periode 1938-1945), masa perintisan (periode 1945-1989) dan masa pengembangan (1989-sekarang)
Pada awal berdirinya 1938 berupa RSJ Grhasia hanya sebagai Rumah Perawatan atau Koloni Orang Sakit Jiwa (KOSJ) Lali Jiwo, di bawah pengawasan Rumah Sakit Jiwa Pusat Kramat Magelang dengan status kepemilikan milik Kasultanan Ngayokjakarta Hadiningrat.
KOSJ Lali Jiwo menempati areal tanah seluas 104.250 meter persegi di Jalan Kaliurang Km 17 Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Saat itu wilayah tersebut terbilang masih terpencil serta jauh dari kota. Karakter wilayah seperti itu disebut jadi ciri khusus lokasi Rumah Perawatan Orang Sakit Jiwa bentukan Pemerintah Hindia Belanda.
Sebagai tenaga perawat di rumah sakit tersebut kala itu adalah para Penjaga Orang Sakit (POS) yang bukan berlatar pendidikan perawat. Baru pada Mei 1938, Pemerintah Hindia Belanda menugaskan kepada Soedjani sebagai koordinator/Kepala KOSJ Pakem.
Sebelumnya Soedjani adalah seorang penjenang kesehatan yang bertugas di Rumah Sakit Jiwa Kramat Magelang. Pada saat itu, KOSJ Lali Jiwo telah merawat pasien sebanyak 60 orang.
Pada 1945 setelah Indonesia memperoleh kemerdekaannya, mulailah Pemerintah Provinsi DIY memberikan biaya operasional, sehingga sedikit demi sedikit KOSJ Lalijiwo bangkit kembali. Hasil pertanian, perikanan, dan peternakan dapat dikelola lagi untuk kepentingan KOSJ.
Namun hal tersebut tidak berlangsung lama karena pada bulan Desember 1948 terjadi agresi Belanda ke daerah Ibukota RI di Jogja dan keberadaan KOSJ terancam kembali.
Atas perintah dr KRT Martohusodo selaku Inspektur Kesehatan Dinas Kesehatan Rakyat (DKR) Jogja kemudian disiapkan tempat perawatan darurat KOSJ Lali Jiwo berupa tempat pengungsian yang jauh dari jalan raya yang sekaligus bisa digunakan untuk menolong korban peperangan. Berkat kerjasama dengan pamong desa setempat, terwujudlah tempat perawatan darurat yang berlokasi di Desa Sempu dan Desa Sumberejo, Kelurahan Pakembinangun.
Namun karena saat itu dirasa kurang aman, kemudian pindah lagi ke tempat yang lebih jauh dari jalan raya, yaitu di Desa Potrowangsan, Kelurahan Candibinangun. Hanya 1 hari saja kemudian pindah lagi ke Desa Dawung, Kelurahan Candibinangun sampai tentara Belanda ditarik dari Jogja.
Pada bulan September 1949, KOSJ Lali Jiwo mulai menerima biaya operasional kembali dari Pemerintah Provinsi DIY dan mulai mengaktifkan kembali pegawai-pegawainya sehingga berjumlah 48 orang. Sejak saat itu KOSJ mulai merintis kembali usahanya yaitu tetap merawat pasien dengan gangguan jiwa di samping juga menerima pasien umum yang berobat jalan.
Kemudian Kepala KOSJ Pakem tetap dipercayakan kepada Soedjani. Dan atas pengabdiannya dalam memimpin kelangsungan hidup rumah perawatan tersebut, Soedjani diberi penghargaan berupa nama kalenggahan atau gelar sehingga nama lengkapnya menjadi Raden Wedono Soedjani Saronohardjosoenoto (RW Soedjani).
Sejak tahun 60-an Rumah Sakit Lali Jiwo tidak lagi di bawah pengawasan RSJ Magelang tetapi sebagai dokter konsultan mendapat bantuan dari Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta, sekaligus sebagai dokter pembimbing Co-Assisten (calon dokter) yang praktek di Rumah Sakit "Lali Jiwo". Akan tetapi kesepakatan tertulis baru dilaksanakan pada tahun 1971. Dalam perkembangan selanjutnya KOSJ Lali Jiwo tidak hanya sebagai rumah perawatan saja tetapi sekaligus sebagai tempat pengobatan di bawah pengawasan FK UGM, sehingga KOSJ Lali Jiwo menjadi lebih dikenal dengan sebutan Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Lali Jiwo Pakem dengan kapasitas 100 tempat tidur, jumlah tenaga 60 orang yang terdiri dari 2 orang perawat jiwa, 1 orang Penjenang Kesehatan (PK) jiwa dan sisanya adalah Penjaga Orang Sakit (POS).
Selengkapnya di halaman berikutnya...
Adapun secara medis teknis RSJ Lali Jiwo bertanggung jawab kepada Dinas Kesehatan Provinsi DIY. Mulai saat itu, sekitar tahun 1973/1974, Pemerintah Pusat melalui Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan RI telah memperhatikan keberadaan RSJ Lali Jiwo Pakem dengan meletakkan landasan-landasan yang kokoh bagi perkembangan suatu instansi kesehatan jiwa yang modern, di mana kesehatan jiwa sebagai suatu bagian integral dari kesehatan dan bagi seluruh masyarakat. Sehingga sedikit demi sedikit mulai ada pembenahan terutama di bidang pengelolaannya.
Pada tahun 1975, atas bantuan tenaga medis dari Fakultas Kedokteran UGM, RSJ Lali Jiwo Pakem ditunjuk sebagai pembina program integrasi kesehatan jiwa ke puskesmas untuk Provinsi DIY sampai dengan sekarang. Dan pada tahun 1976 untuk pertama kalinya RSJ Lali Jiwo Pakem memperoleh fasilitas kendaraan berupa mobil ambulans dari pemerintah Provinsi DIY.
Periode dr Prajitno Siswowiyoto (1981-1987)
Sejak tahun 1981, di bawah kepemimpinan dr Prajitno Siswowiyoto, SpKJ, RSJ Lali Jiwo semakin berkembang dengan berpedoman pada 3 usaha pokok kesehatan jiwa yang dikenal dengan Tri Upaya Bina Jiwa dimana sistem pelayanan pasien berpegang pada konsep psikiatri modern yakni upaya kesehatan jiwa meliputi prevensi, promosi, kurasi, rehabilitasi.
Pada 1981 Pemerintah Provinsi DIY mulai menata kelembagaan RSJ melalui Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 1981 tentang Pembentukan Susunan Organisasi Rumah Sakit Jiwa Lali Jiwo. Kedudukannya tidak lagi merupakan unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Provinsi DIY tetapi merupakan unit pelaksana teknis daerah yang bertanggung jawab langsung kepada Gubernur Kepala Daerah Provinsi DIY dengan klasifikasi Rumah Sakit tipe B. Sementara terhadap Dinkes Provinsi DIY hanya bersifat hubungan koordinatif di bidang program kesehatan jiwa. Dan sejak itu sebutan untuk kepala Rumah Sakit adalah Direktur RSJ Lali Jiwo Pakem.
Periode dr Musinggih Djarot Rouyani (1987-1999)
Di bawah kepemimpinan dr Musinggih Djarot Rouyani SpKJ, pada tahun 1989 bersamaan dengan perubahan kelas Rumah Sakit dari tipe B ke tipe A oleh Pemerintah Provinsi DIY istilah/nama Rumah Sakit Jiwa Lali Jiwo dihilangkan sehingga menjadi Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Provinsi DIY melalui Peraturan Daerah No 14 / tahun 1989.
Periode dr Boedi Boedaja, A.M, Sp.KJ (1999-2004)
Pada tahun 2000, RSJD Provinsi DIY mendapatkan akreditasi Penuh Tingkat Dasar melalui SK Dirjen Yanmed No: YM 0003.2.2.5164 tgl. 19 Desember 2000. Secara bertahap dibangun arah dan kebijaksanaan sistem pelayanan kesehatan jiwa serta pembenahannya, baik teknis maupun administratif. Diadakan sayembara pada Juli-September 2003 dengan tim juri antara lain GKR Hemas dan telah berhasil menentukan nama dan logo RS yang baru yaitu Rumah Sakit GRHASIA Provinsi DIY
Keputusan ini ditetapkan melalui Surat Keputusan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X No 142 tahun 2003 tertanggal 30 Oktober 2003 dengan tugas pokok dan fungsi tetap. Peresmian dilakukan oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X yang dihadiri oleh Menteri Kesehatan RI pada tanggal 20 Desember 2003.
Tahun 2012 dilakukan pergantian RS Grhasia DIY menjadi RS Jiwa Grhasia DIY serta Penetapan RS Jiwa Grhasia DIY sebagai PPK-BLUD penuh pada Agustus 2012.