Sudah Tahu Belum Lur? Pernah Ada Gempa Dahsyat 6,8 SR di Jogja 1867

Sudah Tahu Belum Lur? Pernah Ada Gempa Dahsyat 6,8 SR di Jogja 1867

Jalu Rahman Dewantara - detikJateng
Rabu, 26 Okt 2022 12:20 WIB
Tugu Pal Putih Yogyakarta bebas dari kabel listrik, Rabu (16/12/2020)
Ilustrasi Tugu Pal Putih salah satu ikon wisata di Jogja (Foto: Agus Septiawan/detikTravel)
Jogja -

Jogja menyimpan sejarah panjang tentang gempa. Jauh sebelum gempa 27 Mei 2006 silam yang merenggut lebih dari 5.000 jiwa, pernah ada peristiwa gempa serupa yang tak kalah dahsyat.

Berdasarkan laporan yang dibuat pada zaman kolonial, khususnya laporan Dr. S.W. Visser (1922) dan berita di Koran De Locomotief, yang disadur dari Majalah Geomagz milik Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, disebutkan Jogja pernah dilanda gempa dahsyat pada 10 Juni 1867.

Dalam laporan itu disampaikan, gempa Jogja 1867 adalah bencana gempa dengan sumber di darat yang paling besar sejak abad 17. Kala itu gempa terjadi pukul 04.25 WIB dan disertai dua hentakan dahsyat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hentakan pertama membuat bumi berguncang selama 8 detik. Sempat hening sekitar 2 detik, kemudian disusul dengan hentakan yang jauh lebih kuat yang berlangsung selama 70 detik. Kerasnya guncangan bahkan dirasakan hingga radius 500 km dari titik pusat gempa.

Gempa 1867 berkekuatan 6,8 SR ini dilaporkan meluluhlantakkan Jogja. Sekitar 500 jiwa dilaporkan meninggal dunia akibat bencana alam ini.

ADVERTISEMENT

Pasar, Keraton, hingga Candi Prambanan Rusak

Setengah dari jumlah korban meninggal, berdasarkan laporan koran De Locomotief, ada di 'Pasar Gedeh' yang sekarang dikenal sebagai Pasar Legi di Kota Gede. Candi Prambanan juga mengalami kerusakan berat pada waktu itu.

Adapun bangunan lain yang rusak meliputi kantor pos dan motel tempat peristirahatan Sultan yang berada di dekat candi tersebut.

Dr. S.W Visser dalam laporannya menyimpulkan, sumber gempa Jogja 1867 ini memanjang ke arah barat daya-timur laut di dekat aliran Sungai Opak atau bersesuaian dengan lokasi patahan Opak.

Gempa ini juga memicu banyak rekahan di permukaan tanah di wilayah Jogja bagian selatan, Bantul, hingga Klaten di Jawa Tengah. Sebagian dari rekahan tersebut mengeluarkan semburan pasir dari dalam tanah, yaitu indikasi terjadinya proses likuifaksi (liquifactions).

Komite Penanggulangan Bencana pada tahun itu menyebutkan, gempa Jogja 1867 merupakan bencana yang mengerikan dan berharap agar bencana semacam ini tidak terulang kembali.

"Kita berharap Yogyakarta akan aman untuk waktu yang lama, jangan lagi ada bencana mengerikan seperti yang terjadi saat ini. Namun kita paham bahwa hal itu tidak benar (karena kejadian gempa akan selalu berulang) dan kejadian ini menjadi pelajaran yang tidak boleh dilupakan" tulis laporan Komite Penanggulangan Bencana waktu itu, dikutip detikJateng pada Rabu (26/10/2022).

Selengkapnya soal laporan gempa dahsyat pada 1867 silam...

Gambaran soal kengerian gempa Jogja 1867 juga bisa dilihat di website resmi keraton Yogyakarta (https://www.kratonjogja.id/raja-raja/7-sri-sultan-hamengku-buwono-vi/). Disebutkan bahwa bencana alam ini selain merenggut ratusan jiwa, juga merusak 327 bangunan termasuk bangunan keraton.

Tugu Golog Giling yang sekarang lebih dikenal sebagai Tugu Jogja juga rusak parah. Bangunan Tamansari juga mengalami kerusakan hebat.

Ngerinya Gempa Dahsyat 1867

Peristiwa ini bahkan membuat raja Keraton Jogja waktu itu, Sri Sultan Hamengku Buwono VI, trauma. Sultan bahkan meminta agar peristiwa memilukan ini tidak usah diingat-ingat dan meyakinkan penduduk bahwa peristiwa seperti itu hanya akan terjadi sekali, tidak akan terulang lagi.

Ini juga yang menyebabkan catatan mengenai gempa Jogja 1867 tidak tercatat secara rinci di karya-karya pujangga keraton.

Terkait dengan peristiwa ini, Pakar Geologi dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Dr Amien Widodo dalam wawancara dengan detikcom tertanggal 27 Mei 2021 menjelaskan bahwa gempa yang terjadi pada1867 tercatat di Babad Pakualaman karya permaisuri Paku Alam VI, Gusti Kanjeng Raden Ayu Adipati Paku Alam atau Siti Jaleka.

"Disebutkan bahwa gempa berlangsung sekitar dua menit, menyebabkan tanah berjungkat, bagai diayun-ayun, bergetar bergoyang bagai hendak dicabut. Bumi dan langit seperti hendak menelungkup. Suara gemuruh di puncak gunung amat mengerikan. Ombak laut pun menjadi besar 'kocak-kocak' hingga air dan ikannya terangkat ke daratan," kata Amien.

Namun sayangnya, lanjut Amien, catatan gempa Jogja 1867 tidak tersosialisasikan ke masyarakat. Padahal kejadian gempa Jogja tahun 2006 hampir mirip dengan tahun 1867.

Menurutnya, sejarah gempa seperti yang terjadi di Jogja pada 1867 silam mempunyai arti penting untuk antisipasi gempa di masa depan sehingga risiko bencana bisa dikurangi.

"Tanggal kejadian dan skala gempa harus diingat semua orang yang bermukim di sekitar lokasi gempa tersebut. Sebab sangat mungkin terjadi lagi di tempat yang sama," jelasnya.

Halaman 2 dari 2
(ams/dil)


Hide Ads