Peristiwa Serangan Umum 1 Maret memiliki makna yang penting bagi penegakan dan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia. Pengusulan Serangan Umum 1 Maret sebagai hari besar nasional bertujuan untuk menghargai jasa para pahlawan; meneguhkan kembali semangat nasionalisme dan kebangsaan; dan mengingatkan pentingnya urgensi kembali kepada cita-cita awal revolusi kemerdekaan Indonesia yang merdeka dan berdaulat; serta menciptakan masyarakat yang adil dan makmur berdasar Pancasila dan UUD 1945.
Hal tersebut disampaikan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X saat menghadiri Seminar Nasional 'Serangan Umum di Jogja: Indonesia Masih Ada' secara daring pada Selasa (16/11/2021). Seminar yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan DIY ini juga dihadiri oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Menteri Sekretaris Negara; Menteri Dalam Negeri RI; Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi; dan Menteri Pertahanan.
"Kedaulatan memiliki makna historis dan sosiologis. Makna historisnya adalah Indonesia telah mendapatkan pengakuan dari dunia internasional terhadap NKRI sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Sedangkan secara sosiologis dan kontemporer, kedaulatan kita masih menghadapi berbagai tantangan dan ancaman," jelas Sultan HB X, dikutip detikJateng dari laman jogjaprov.go.id, Selasa (1/3/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam perjuangan menegakkan kedaulatan negara, Indonesia menghadapi berbagai tantangan seperti upaya separatisme, upaya penggantian ideologi negara, kecaman atas penanganan permasalahan HAM, serta masuknya budaya asing dalam konteks globalisasi.
Pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII menyatakan bahwa Kasultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman merupakan bagian dari Indonesia melalui Amanat 5 September 1945. Namun, Belanda terus berupaya untuk kembali menguasai Indonesia dengan terus melakukan serangan.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX kemudian menawarkan pada Presiden Soekarno untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta. Perpindahan ibu kota akhirnya dilakukan pada 4 Januari 1946 sebagai langkah antisipasi atas aksi teror dan percobaan pembunuhan pejabat negara oleh Sekutu.
Gejolak yang terjadi di Indonesia kemudian mereda dengan ditandatanganinya Perjanjian Linggarjati pada 15 November 1946 di mana Belanda mengakui wilayah kekuasaan Indonesia meliputi Sumatra, Jawa, dan Madura. Namun, Belanda mengingkari perjanjian ini dan meluncurkan Agresi Militer I.
Perlawanan terus dilakukan Indonesia hingga Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengirim surat kepada Panglima Sudirman dan menganjurkan agar mengadakan serangan guna merebut kembali Yogyakarta dari tangan Belanda. Panglima Sudirman menyetujui saran ini dan meminta Sri Sultan HB IX untuk berkoordinasi dengan Letnan Kolonel Soeharto.
Sri Sultan HB IX dan Letkol Soeharto kemudian sepakat untuk melakukan Serangan Umum 1 Maret 1949 pada pukul 06.00 pagi.
"Untuk pertama kalinya sejak Kota Yogya jatuh ke tangan Belanda, pasukan TNI berhasil memasuki wilayah kota," ujar Sultan HB X memaparkan sejarah Serangan Umum 1 Maret.
![]() |
Dengan serangan ini, pasukan Indonesia berhasil menduduki Yogyakarta selama 6 jam. Perebutan kembali ibu kota Yogyakarta disiarkan ke seluruh dunia melalui siaran radio.
"Keberhasilan TNI merebut kembali kota Yogyakarta ini memberikan pengaruh besar. Negara-negara bentukan Belanda di Indonesia segera mengetahui eksistensi Republik yang sebenarnya, dan mereka berbalik memihak Republik Indonesia," ungkap Sultan HB X.
Peristiwa ini mengantarkan Indonesia pada Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan pengakuan kedaulatan Indonesia. Belanda dan Indonesia kemudian melaksanakan upacara pengakuan pada 27 Desember 1949.
Sultan HB X berharap agar peristiwa Serangan Umum 1 Maret dapat segera ditetapkan sebagai hari besar nasional.
"Besar harapan, bahwa tanggal 1 Maret 1949 segera dapat ditetapkan sebagai Hari Besar Nasional dengan nama Hari Penegakan Kedaulatan Negara, hingga pada akhirnya dapat menjadi pemantik semangat persatuan, mendukung penguatan wawasan kebangsaan, dan menjadi modal sosial pembangunan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta pada khususnya, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada umumnya," kata Sultan HB X.
Menko Polhukam Mahfud Md menyatakan bahwa Serangan Umum 1 Maret merupakan bentuk pembuktian pada dunia internasional bahwa Indonesia masih ada dan bukan semata-mata untuk mengusir Belanda serta menimbulkan korban jiwa dari pihak Belanda. Serangan ini merupakan satu kesatuan strategis sebagai upaya mempertahankan kemerdekaan bersama dengan langkah-langkah diplomasi dan langkah hukum yang telah dilakukan Indonesia.
"Serangan ini lebih dimaksudkan untuk mematahkan argumentasi diplomasi internasional yang digunakan oleh Belanda bahwa pemerintahan Indonesia sudah tidak ada dan tidak efektif untuk menegakkan pemerintahan seperti yang sudah diproklamasikannya. Serangan ini membuktikan kepada dunia internasional bahwa negara Indonesia masih ada," jelas Mahfud.
Mahfud juga menekankan pentingnya kerjasama sebagai satu bangsa untuk menjaga kemerdekaan dan eksistensi bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan di masa depan. Ia juga menyebutkan bahwa Indonesia patut berbangga sebagai satu-satunya bangsa yang memproklamirkan kemerdekaannya sendiri dan bukan merupakan hadiah dari penjajah. Serangan Umum 1 Maret merupakan bukti penegakan kedaulatan Indonesia.
(rih/rih)