Sejarah Jalan Malioboro: Bagian dari 'Sangkan Paraning Dumadi'

Sejarah Jalan Malioboro: Bagian dari 'Sangkan Paraning Dumadi'

Ristu Hanafi - detikJateng
Minggu, 23 Jan 2022 17:39 WIB
Jalan Malioboro tempo dulu.
Jalan Malioboro tempo dulu. (Foto: dok. website Pemda DIY)
Jogja -

Jalan Malioboro didirikan bertepatan dengan pendirian Keraton Jogja. Dalam bahasa Sansekerta, kata "malioboro" bermakna karangan bunga.

Dikutip detikJateng dari website Pemda DIY, Minggu (23/1/2022), hal itu diduga ada hubungannya dengan masa lalu ketika Keraton Jogja mengadakan acara besar, maka Jalan Malioboro akan dipenuhi dengan bunga.

Ada pendapat bahwa nama Malioboro berasal dari kata Marlborough-gelar Jenderal John Churchill (1650-1722) dari Inggris. Namun pendapat ini disanggah dengan adanya bukti sejarah bahwa jalan Malioboro sudah ada sejak berdirinya Ngayogyakarta Hadiningrat. Peter Carey berpendapat bahwa jalan raya ini telah dibangun dan digunakan untuk tujuan seremonial tertentu selama 50 tahun sebelum orang Inggris mendirikan pemerintahannya di Jawa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Konon Malioboro dimaknai sebagai perjalanan menjadi wali (mali) dan 'oboro' yang berarti mengembara. Secara singkat, kawasan Malioboro yang terdiri dari dua nama jalan utama yakni Margo Mulyo dan Margo Utomo, adalah bagian dari konsep 'Sangkan Paraning Dumadi', atau perjalanan manusia dari lahir hingga kembali kepada Sang Pencipta.

Sangkan Paraning Dumadi memiliki simpul-simpul utama yakni Panggung Krapyak-Keraton-Tugu Jogja. Panggung Krapyak ke Keraton melambangkan sangkaning dumadi, atau perjalanan manusia sejak lahir, dewasa, hingga memiliki anak atau keluarga. Sementara, Tugu menuju keraton yang melalui Malioboro, melambangkan perjalanan manusia menuju akhir hayatnya. Konsep ajaran Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengku Buwono I) ini telah ada sejak awal berdirinya Kesultanan Jogja pada 1755.

ADVERTISEMENT

Malioboro dulunya berfungsi sebagai rajamarga/jalan kerajaan, yang digunakan untuk kegiatan seremonial ataupun penyambutan tamu negara. Salain itu, di area Malioboro juga terdapat Kepatihan sebagai pusat pemerintahan dan Pasar Gedhe sebagai pusat perekonomian. Pasar Gedhe yang awalnya hanya tanah lapang, berkembang pesat dan mendapatkan julukan pasar terindah di Jawa.

Pada sekitar tahun 1870-an, mulai berkembang sentra ekonomi di Jogja seiring terbitnya Undang-Undang Agraria. Mulai tahun tersebut Hindia Belanda melaksanakan politik kolonial liberal atau disebut juga dengan Politik Pintu Terbuka (open door policy). Penanaman modal swasta mulai diperbolehkan masuk dan aturan kepemilikan tanah diperketat pada masa ini.

Adanya modal asing yang masuk, pada periode ini, mulai banyak dibangun stasiun, bank, pusat perdagangan, dan sekolah. Perekonomian semakin cepat berputar dan industri berkembang, salah satunya gula. Selanjutnya, pada awal abad ke-20, terjadi peningkatan jumlah pendatang di Jogja dan membuat Malioboro menjadi jalan pertokoan paling sibuk hingga saat ini. Begitulah perkembangan jalan Malioboro dari jalanan yang sepi dipenuhi pepohonan menjadi pusat perbelanjaan di Jogja.

Malioboro sebagai jalan yang penuh makna filosofis akan kembali ditata sehingga tidak hanya digunakan sebagai pusat perbelanjaan saja. Malioboro menyimpan banyak kisah dan sejarah yang bisa memantik siapa saja yang melaluinya untuk merenungi kehidupan.




(rih/aku)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads