Rektor Universitas Lampung (Unila) Prof Dr Karomoni menjadi tersangka kasus suap proses penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri Unila. KPK mengungkap Karomani mematik harga minimal Rp 100 juta per mahasiswa yang ingin masuk Unila lewat jalur mandiri.
Dilansir detikNews, Minggu (21/8/2022), selain Karomoni ada tiga orang tersangka lain dalam kasus ini. Berikut ini daftar lengkap identitas para tersangka:
Penerima Suap
- Karomani sebagai Rektor Unila
- Heryandi sebagai Wakil Rektor 1 Bidang Akademik Unila
- Muhammad Basri sebagai Ketua Senat Unila
Selaku Pemberi Suap
- Andi Desfiandi, swasta
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menjelaskan Unila sebagai salah satu Perguruan Tinggi Negeri ikut menyelenggarakan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2022. Unila juga membuka jalur khusus atau penerimaan jalur mandiri Simanila 2022.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Selama proses Simanila berjalan, KRM diduga aktif untuk terlibat langsung dalam menentukan kelulusan para peserta Simanila dengan memerintahkan HY (Heryandi) selaku Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Budi Sutomo selaku Kepala Biro Perencanaan dan Hubungan Masyarakat serta melibatkan MB (Muhammad Basri) selaku Ketua Senat untuk turut serta menyeleksi secara personal terkait kesanggupan orang tua mahasiswa yang apabila ingin dinyatakan lulus maka dapat dibantu dengan menyerahkan sejumlah uang selain uang resmi yang dibayarkan sesuai mekanisme yang ditentukan pihak universitas," jelas Ghufron dalam konferensi pers di kantornya, hari ini.
Untuk diketahui, Karomani yang menjabat sebagai Rektor Unila periode 2020-2024, memiliki wewenang salah satunya terkait mekanisme dilaksanakannya Simanila tersebut.
Baca juga: Tentang Empan Papan, Dunung, dan Mungguh |
Karomani juga diduga memberikan peran dan tugas khusus untuk Heryandi selaku Wakil Rektor I Bidang Akademik Unila, Muhammad Basri selaku Ketua Senat Unila dan Budi Sutomo (BS) selaku Kepala Biro Perencanaan dan Hubungan Masyarakat. Ketiganya diberikan tugas oleh Karomani untuk mengumpulkan sejumlah uang yang disepakati dengan pihak orang tua peserta seleksi yang sebelumnya telah dinyatakan lulus berdasarkan penilaian yang sudah diaturnya.
"Terkait besaran nominal uang yang disepakati antara pihak KRM diduga jumlahnya bervariasi dengan kisaran minimal Rp 100 juta sampai Rp 350 juta untuk setiap orang tua peserta seleksi yang ingin diluluskan," ungkapnya.
Simak lebih lengkap di halaman berikutnya...
Tak hanya itu, Karomani diduga memerintahkan Mualimin untuk turut mengumpulkan sejumlah uang dari para orang tua peserta seleksi yang ingin dinyatakan lulus oleh Karomani. Selanjutnya tersangka Andi Desfiandi (AD), sebagai salah satu keluarga calon peserta seleksi Simanila diduga menghubungi Karomani untuk bertemu dengan tujuan menyerahkan sejumlah uang karena anggota keluarganya telah dinyatakan lulus Simanila atas bantuan Karomani.
Karomani kemudian memerintahkan Mualimin mengambil titipan uang tunai Rp 150 juta dari Andi Desfiandi di salah satu tempat di Lampung. Karomani telah mengumpulkan uang dari orang tua calon mahasiswa melalui Mualimin hingga Rp 603 juta.
"Telah digunakan untuk keperluan pribadi KRM sekitar Rp 575 juta," ujarnya.
"Selain itu, KPK juga menemukan adanya sejumlah uang yang diterima KRM melalui Budi Sutomo dan MB yang berasal dari pihak orang tua calon mahasiswa yang diluluskan KRM yang juga atas perintah KRM uang tersebut telah dialih bentuk menjadi tabungan deposito, emas batangan dan juga masih tersimpan dalam bentuk uang tunai dengan total seluruhnya sekitar Rp 4,4 miliar," jelas Nurul Ghufron.
Para tersangka penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sementara tersangka pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Korupsi.