Petunjuk dangkalnya budaya masyarakat ialah kegemarannya yang berlebihan terhadap komedi, dan kurang menghargai tragedi.
(GWF Hegel)
Di jagad pewayangan Jawa, tokoh yang suka bercanda bahkan hingga melampai batas adalah Dursasana. Kurang berpendidikan karena kurangnya kemauan belajar kesantunan dan kesusilaan menyebabkannya terjebak pada kenyamanan diri sendiri untuk menjalani hidup semau-maunya, tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain dan yakin semua yang dilakukannya bisa dimaklumi.
Hampir semua lakon yang di dalamnya Dursasana sebagai salah satu pelakunya, dia selalu digambarkan sebagai sosok sembrono, suka tertawa-tawa keras, tidak peduli lawan bicara, merasa sebagai yang paling cakap, melecehkan orang, menggampangkan urusan, hingga mempercandakan urusan-urusan kenegaraan yang amat penting dan sepantasnya tidak dilakukan dengan cara demikian.
Karena hobinya mengolok-olok persoalan, bahkan seringkali untuk membuat penggambaran yang ekstrem tentang petinggi Astina ini, sejumlah dalang sering meledek-ledeknya. Di setiap perjalanan, Dursasana sering berteriak-teriak sendiri, tertawa keras, menyapa siapapun dengan sapaan sebetulnya jauh dari gambaran ramah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan di setiap perjalanan itu Dursasana juga selalu dikerubuti dan diikuti anak-anak kecil, bukan karena pesona atau wibawanya melainkan karena Dursasana suka membagikan gelang karet dan mainan. Itu dilakukan agar setiap kedatangannya selalu menjadi pusat perhatian, setidaknya perhatian anak-anak. Cara ini dilakukan untuk menyamarkan tabiat aslinya yang kasar, sombong dan kikir.
Dalam lakon 'Bima Kopek', Dursasana menghadang wahyu untuk menunjang datangnya derajat. Hanya sekilas wahyu itu mendekatinya, namun tak lama kemudian melesat pergi karena tak bisa bersenyawa dengan kepribadian Dursasana yang sembrono.
Dursasana akhirnya tak lampu lagi membedakan tatanan perilaku manusia beradab dengan tindakan sadis tak berkemanusiaan. Semua dipercandakan. Bisa tertawa girang sambil memelototkan mata dan menumpahkan serapah nista ketika berusaha menelanjangi perempuan di sebuah sidang kerajaan. Dan, seperti Dursasana tadi, dari kegemarannya bercanda melampaui batas itulah awal kesengsaraannya bermula. Drupadi, perempuan yang dinistakan itu, marah dan bersumpah takkan menggelung rambutnya sebelum keramas menggunakan darah Dursasana.
Bercanda memang merupakan sebuah cara penting untuk bisa mencairkan suasana. Bukan cara mudah sebetulnya untuk bisa bercanda dengan bijak. Syeh Abunuwas dari Baghdad dan Khoja Nasruddin dari masa Turki Saljuk adalah contoh orang-orang yang suka membuat candaan dalam setiap pemecahan masalah atau keluar dari himpitan persoalan.
Namun kedua ulama besar ini amat sangat lihai mempermainkan peran dalam membuat batas-batas canda sehingga tidak tergelincir pada peran konyol dan menistakan diri sendiri. Kedua tokoh ini lalu melegenda turun-temurun dalam tradisi lisan kita, sebagai tokoh penyampai pesan moral melalui canda. Kedua tokoh inilah yang seringkali dijadikan sebagai contoh dalam strategi politik 'melawan dengan guyonan' atau 'diplomasi melalui canda'.
Dalam tataran tertentu memang, bercanda tentang diri sendiri atau menertawakan diri sendiri merupakan tahapan penting. Berani menertawakan diri sendiri adalah bukti kedewasaan. Mana ada anak kecil mau melakukan hal itu. Membuat candaan tentang diri sendiri akan membawanya pada situasi rendah hati, menghindarkan diri dari penyakit merasa paling sempurna. Jika bercanda sesuai proporsi membawa orang pada rendah hati, bercanda tanpa kontrol diri akan menjatuhkannya pada nista diri.
Dalam buku 'Tentang Bermain Drama' yang sangat terkenal di dunia teater, dramawan kenamaan WS Rendra menulis betapa sulitnya menggarap karya drama komedi, jauh melebihi menggarap karya drama tragedi. Bermain dalam peran-peran komedi juga jauh lebih sulit dibanding dalam peran lainnya.
Menurut Rendra, kunci utama bermain komedi atau membuat candaan adalah lihai menguasai timing; ketepatan hubungan antara gerakan dan cakapan, mempertimbangkan suasana audien, dan memperhitungkan ruang, harus menimbang secara cepat dan tepat tataran pengetahuan lawan main dan juga penikmatnya sebagai terget candaan. Artinya komedi lebih butuh timing daripada tragedi.
Pesan dari cerita Dursasana, Abunuwas/Abunawas dan Nasruddin, maupun pelajaran teknis dari Rendra adalah persoalan dengan tepat memilah urusan. Empan papan (paham kondisi), dunung (proporsi) dan mungguh (kepatutan) adalah kata-kata kunci yang harus dipahami terlebih dahulu dalam membuat komunikasi di jaman blak-blakan dan sensitif seperti sekarang.
Tidak sembarang urusan pastinya bisa dilontarkan dengan bercanda, meskipun tetap bisa disampaikan dengan situasi yang cair, akrab dan bersahabat. Persoalan-persoalan yang menyangkut nasib orang banyak misalnya, tak sepantasnya dipertontonkan dengan pembicaraan cara guyonan.
Guyonan dan cara bertingkah Petruk hanya lucu ketika dia masih menjadi punakawan yang bisa dengan ceplas-ceplos di pinggir hutan sambil menghibur si tuan yang sedang bersedih. Tapi guyonan dan cara bertingkah si Petruk yang sama telah menjadi bumerang paling tajam untuk menghancurkan tahta dan lembaga kerajaan ketika itu disampaikannya sambil ongkang-ongkang di kursi istana sebagai Raja Welgeduwelbeh.
Apalagi sebetulnya tidak semua guyonan lucu disampaikan oleh semua orang, meskipun dengan materi yang sama. Guyonan sarkastis dan sembrono mungkin akan dimaklumi dan terasa segar ketika disampaikan si Bagong saat hadir di sebuah sidang kerajaan, tapi pasti akan mengganjal dan sangat mengganggu ketika guyonan yang sama disampaikan oleh petinggi kerajaan seperti Dursasana.
Baca juga: Si Miskin |
Situasi kebatinan saat lontaran guyonan juga harus dipertimbangkan. Tidak semua guyonan bisa menjadi lucu dan tidak semua orang senang melucu atau mendengarkan lelucon. Apalagi jika orang itu sedang sakit gigi. Tidak semua orang sakit gigi mau berobat agar segera lepas dari kesakitannya sehingga tidak terganggu dengan guyonan orang. Tragisnya toh tidak semua orang mau diperiksa kesehatan giginya...
Mungkin saja guyon seseorang menjadi lucu dan segar ketika disampaikan pada saat orang itu masih menjadi pusat perhatian yang selalu dimaklumi dan disayang. Bisa jadi guyonannya sudah menjadi hambar dan garing di saat lain ketika pendengarnya sudah sampai titik jenuh. Dan seperti Dursasana tadi, dari kegemarannya bercanda melampaui batas itulah awal kesengsaraannya bermula.
Solo, 21 Agustus 2022
Muchus Budi R adalah wartawan detikcom
--Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi.
(mbr/sip)