Bharada E Jadi Justice Collaborator, Ini Sederet Haknya Menurut UU

Bharada E Jadi Justice Collaborator, Ini Sederet Haknya Menurut UU

Tim detikJateng - detikJateng
Kamis, 18 Agu 2022 14:15 WIB
Ajudan Irjen Pol Ferdy Sambo, Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E (kiri) berjalan memasuki ruangan saat tiba di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (26/7/2022). Kedatangan Bharada E tersebut untuk dimintai keterangan terkait insiden baku tembak dengan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J  yang terjadi pada Jumat (8/7) lalu di rumah dinas Kepala Divisi Propam Polri nonaktif Irjen Pol. Ferdy Sambo. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/nym.
Foto: Bharada Richard Eliezer atau Bharada E (Antara Foto/M Risyal Hidayat)
Solo -

Pengacara Bharada E, Ronny Talapessy, berharap kliennya dibebaskan setelah menjadi justice collaborator (JC). Apakah harapan itu bisa terwujud? Berikut sederet hak bagi justice collaborator atau saksi pelaku dalam Undang Undang tentang perlindungan saksi dan korban.

UU Perlindungan Saksi-Korban

Perlindungan saksi dan korban semula diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2006. UU tersebut disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan diundangkan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin pada 11 Agustus 2006.

Setelah disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat, pemerintah menerbitkan UU No 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. UU No 31 Tahun 2014 disahkan Presiden SBY dan diundangkan Menkumham Amir Syamsudin pada 17 Oktober 2014.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tentang Justice Collaborator

Dalam UU No 13 Tahun 2006, hal ihwal justice collaborator diatur dalam Pasal 10 ayat 2. Berikut bunyinya: "Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan."

Namun, ketentuan Pasal 10 UU No 13 Tahun 2006 tersebut telah diubah dalam UU No 31 Tahun 2014. Berikut perubahannya:

ADVERTISEMENT

Pasal 10

(1) Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.

(2) Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 10A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10A

(1) Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.

(2) Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya;
b. pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya; dan/atau
c. memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.

(3) Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. keringanan penjatuhan pidana; atau
b. pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.

(4) Untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim.

(5) Untuk memperoleh penghargaan berupa pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.




(dil/ahr)


Hide Ads