Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Mas Bechi (42) ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pencabulan.Diduga korbannya tiga santriwati yang mondok di Pesantren Shiddiqiyyah, Ploso, Jombang, Jawa Timur. Mas Bechi pun kini masuk DPO (daftar pencarian orang).
Dikutip dari detikNews, Kamis (7/7/2022), kasus pencabulan ini diduga terjadi pada 2017. Menurut pengakuan korban, modus Mas Bechi yakni mengadakan wawancara seleksi tenaga kesehatan untuk kliniknya. Seleksi itu diikuti sejumlah santriwati. Di tengah seleksi itulah para santriwati mendapat kekerasan seksual dari Mas Bechi. Berikut kronologi kasusnya.
1. 2018
Pada 2018, ada santri yang berani melapor ke Polres Jombang. Laporan ini atas dugaan pencabulan, pemerkosaan, hingga kekerasan seksual pada tiga santriwati.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
2. 2019
Pada 2019, Polres Jombang menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan. Sebab, pelapor dianggap tidak memiliki cukup bukti. Namun, setelah itu ada korban lain yang juga melaporkan Mas Bechi ke Polres Jombang.
3. Akhir 2019
Mas Bechi ditetapkan menjadi tersangka di pengujung 2019.
4. 2020
Kasus ini kemudian diambil alih Polda Jatim pada Januari 2020.
5. 2021
Mas Bechi menggugat status tersangkanya lewat praperadilan. Dua kali dia mengajukan gugatan dan dua kali pula ditolak oleh pengadilan.
Gugatan pertama didaftarkan ke Pengadilan Negeri Surabaya dan berujung penolakan. Gugatan kedua didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jombang, juga berujung penolakan.
6. 2022
Pada Januari 2022, jaksa menyatakan berkas kasus pencabulan itu sudah lengkap (P21). Semestinya, polisi segera menyerahkan tersangka dan barang bukti ke jaksa. Namun, Mas Bechi menolak ditangkap.
7. Hari Ini
Hingga Kamis (7/7/2022) pukul 16.30 WIB, polisi belum dapat menangkap Mas Bechi dan menyerahkannya ke jaksa. Ayahnya Mas Bechi, kiai pemimpin pesantren Shiddiqiyyah, menghalau polisi.
Kiai Muhammad Mukhtar Mukhti menyatakan kasus ini fitnah belaka, dan seharusnya diselesaikan secara kekeluargaan.
Pada Maret 2020, CNN Indonesia pernah mewawancarai korban dugaan pelecehan yang dilakukan Mas Bechi. Wawancara itu ditayangkan pada Maret 2020.
Baca transkrip wawancara tersebut di halaman selanjutnya...
"..Karena sudah sekian lama ternyata masih berkepanjangan masalah ini. Kejadian terus terulang. Saya merasa miris, merasa miris. Sekolah yang selama ini diidam-idamkan, niat mencari ilmu dari jauh datang, ternyata sampai di sana diperlakukan seperti itu. Dan kejadian ini masih terus terulang."
"Saya ada rasa nggak terima, ya Allah beri jalan ya Allah. Terus di tahun 2018 ada yang melapor. Saya juga sudah diperiksa. Saya bersedia menjadi saksi. Sudah diperiksa, sudah berjalan. Ternyata gagal. Tidak berhasil. Saya tidak putus doa."
"Kemudian ada yang menguatkan saya. Kalau ini harus ditindaklanjuti. Tidak ada yang berani, tidak ada yang berani melangkah, tidak akan berhenti masalah ini. Akhirnya saya menguatkan, ya Allah tolong hamba. Saya memutuskan untuk mengambil jalur hukum ini. Kalau tidak seperti ini, nggak akan selesai. Saya beranikan diri. Saya yakin Allah pasti menolong."
"Di kegiatan itu memakai ilmu metafakta, mereka mengistilahkannya. Metafakta itu katanya tidak bisa dijelaskan menggunakan akal, jadi saya harus melepas pakaian. Dan, melepas pakaian itu kan tidak bisa dilogika, di luar nalar. Saya nggak mau, saya tetap jawab saya tidak mau. Tapi dia memaksa. Masih menggunakan alasan yang sama, kalau kamu tidak mau berarti kamu masih menggunakan akal, kamu belum menjiwai itu metafakta."
"Dia mengatakan mau menetralkan saya, caranya dengan melepaskan seluruh pakaian saya. Saya tetap jawab saya tidak mau. Saya tidak paham apa yang dimaksud. Saya tidak paham juga maksudnya metafakta itu bagaimana, intinya saya tidak bisa. Dengan akal saya harus menjiwai itu. Sampai dia menunggu lama sekali. Lama dia menunggu, saya tetap tidak berkenan. Dia menyuruh saya lagi dengan alasan yang sama, alasan yang sama."
"Di situ saya merasa tertekan, saya merasa ngawang. Saya merasa ngawang. Hidup nggak hidup, mati nggak mati. Saya benar-benar ngawang. Ibaratnya itu itik kehilangan induk. Saya nggak tahu harus bagaimana, saya nggak bisa ngapa-ngapain, di situ nggak ada orang sama sekali. Ngawang rasanya. Yang saya rasakan ngawang, benar-benar melayang."
Pengakuan korban ketika dipaksa mengaku bersalah, silakan baca di halaman berikutnya...
"Saya berdoa sama Allah. Ya Allah saya minta balasan, di dalam hati saya bilang. Alam semesta menyaksikan, dalam hati saya bilang bahwa alam semesta menyaksikan. Meskipun tidak ada orang di situ, alam semesta menyaksikan. Saya yakin alam akan membalas seperti itu doa saya."
"Terus mereka bilang kalau saya itu penyebar fitnah, mengatakan bahwa apa yang saya tulis itu fitnah. Saya sampaikan, saya tidak menulis fitnah. Itu asli, nyata, terjadi pada saya. Mereka tetap memaksa, tetap mengatakan, menyatakan bahwa saya penyebar fitnah."
"Saya sampaikan, fitnah dari mana? Kalau memang itu fitnah, fitnah dari mana? Itu real kejadian yang saya alami. Di situ saya sampai nangis. Saya juga bilang ke mereka, ke bapak-bapak itu, saya sampaikan ke mereka. Bagaimana kalau kamu mempunyai anak perempuan, kamu mempunyai anak dan kamu mengalami hal yang sama seperti orang tua saya. Anak kamu diperlakukan seperti itu, bagaimana perasaan kamu sebagai orang tua."
"Apa yang kamu lakukan? apa kamu menyuruh anakmu mau menulis surat pernyataan bahwa dia itu salah. Kenyataannya dia yang teraniaya. Bagaimana perasaanmu, saya sampaikan ke mereka. Mereka tidak bisa menjawab. Tetap memaksa saya, tetap menyuruh saya menulis surat bahwa saya bersalah."
"Saya tidak merasa salah. Saya tidak mau menulis, saya jawab seperti itu. Saya yakin, yakin, yakin, saya masih percaya ada hati yang masih murni. Saya masih percaya di negara ini masih ada jiwa-jiwa yang suci yang melihat dengan kebenaran, saya yakin masih ada."
"Demi kebenaran, demi keadilan, demi kemanusiaan, saya tidak takut. Saya tidak akan takut, saya tidak gentar, saya akan terus maju. Saya yakin Allah menolong saya."