Ada yang unik dari dinding Tandhok Artspace di Jalan Papandayan Nomor 11, Kelurahan Gajahmungkur, Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang siang ini. Hasil karya para penyandang tunanetra dipamerkan, dengan kisah yang mereka bagikan dalam huruf braille.
Sekilas, hanya tampak secarik kertas putih beserta hasil foto biasa yang terpampang di tembok Tandhok Artspace. Siapa sangka, foto yang dipajang merupakan hasil potretan kaum tunanetra. Kerta kosong yang dipajang itu pun jika diraba, akan muncul huruf braille yang menceritakan kisah para penyandang tunanetra.
Sebanyak 12 karya kaum tunanetra dipamerkan dalam pameran berjudul 'Different Shoot From Another Perspective' yang digagas Silvani Andalita dan Ridho K. Sampurno. Pameran itu dihelat sejak 14-24 Oktober ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Orang-orang yang selama ini kurang mendapat perhatian dan jarang terjamah, ternyata menarik hati kecil perempuan asal Semarang yang akrab disapa Vani. Ia bermimpi bisa mengajak kaum tunanetra itu berkarya bersama.
"Pertemuan pertama Bulan Juni itu 40-50 orang, yang foto bareng kita pakai Instax itu sekitar 25 orang, kemudian yang dikurasi hanya 10 yang menurut saya paling menarik dari foto dan narasi ceritanya," kata Vani kepada awak media, Minggu (20/10/2024).
Berangkat dari kegelisahan akan persoalan yang sering dialami kaum tunanetra, ia ingin pameran yang diadakannya itu mengangkat sisi humanis dan bermanfaat. Akhirnya, muncullah konsep pameran yang mempertontonkan hasil karya para kaum tunanetra, serta potret diri mereka mengenakan pakaian dari merk ternama.
"Peserta yang terlibat itu 90 persen totally blind. Blind itu kan ada totally, ada medium, ada low. Kalau yang totally memang benar-benar dia nggak bisa lihat. Blind-nya totally pun ada yang dari lahir, ada yang ketika dia remaja," jelas Vani.
Selain mengajak kaum netra totally blind, ada pula peserta yang tak memiliki bola mata sejak lahir. Mereka diajak berkeliling dan dituntun untuk memotret hal yang ingin diabadikannya dengan kamera Instax yang dipegangnya sendiri.
"Dideskripsikan mereka mau apa, kita mau ngapain, ada apa, itu kita harus benar-benar jelasin. Apalagi mereka juga bahkan nggak tahu apa itu hitam," terangnya.
Foto-foto yang mereka ambil, lantas dipajang di dinding Tandhok Artspace. Biodata dan kisah kebutaan mereka dituliskan dalam huruf braille yang diterbitkan Yayasan Mitra Netra.
"Biar mereka bisa menikmati, ini kan hasil karya mereka. Selain kita, mereka juga harus menikmati wong ini hasil karya mereka," jelasnya.
Tak hanya hasil karya foto, terpampang pula hasil lukisan bersama para kaum tunanetra. Coretan warna-warni yang tak beraturan itu menjadi bentuk imajinasi dan kreativitas para penyandang tunanetra.
Selain itu, kaum tunanetra yang hingga kini masih berjuang untuk meneruskan hidup itu juga diabadikan dalam potret hitam-putih oleh Ridho. Mereka diberikan pakaian merk high-end dan di pakaian kacamata bergaya, serta aksesoris pelengkap lainnya.
Vani dan Ridho ingin kaum tunanetra ini tak dipandang sebelah mata. Pameran ini menjadi proyek yang mematahkan asumsi bahwa visualitas hanya bisa dipahami mereka yang memiliki penglihatan.
Belasan orang tunanetra itu diberi wadah untuk mencoba pengalaman baru menggunakan kamera, sekaligus bercerita dan mengekspresikan dunia dari sudut pandang mereka. Dunia yang tak hanya menampilkan apa yang mereka lihat, tapi juga yang mereka rasakan dan bayangkan.
"Jadi kalau mereka dibilang mau dikasihani, nggak, kata siapa. Mereka nggak mau charity model atau tindakan yang membuat mereka seperti butuh kasih sayang," tutur Vani.
"Mau ndak mau, kita hidup sama mereka, artinya ya berdamailah dengan kondisi ini. Berdamailah dengan kondisi-kondisi yang tidak semuanya itu sempurna," lanjutnya.
Ia ingin, seluruh peserta yang hadir bisa mengerti bahwa penyandang disabilitas, terutama tunanetra juga bisa berkarya. Jika dipahami lebih dalam, mereka juga memiliki bagian dalam kehidupan dan bebas mengekspresikan sesuatu.
(apu/apl)