Proses Pembuatan Wayang
Proses pembuatan wayang ini cukup rumit dan memakan waktu lama serta memerlukan ketelitian yang tinggi. Dikutip dari laman resmi Kemendikbud, pembuatan wayang kulit berawal dengan menggambar pola wayang di kulit sapi atau kambing tersebut, lalu dilanjutkan ke proses penatahan. Gambar yang tertata kemudian akan dicat, lalu dikeringkan.
Berlanjut ke proses berikutnya, yaitu pemasangan pegangan atau tangkai wayang yang terbuat dari tanduk kerbau. Kemudian dilanjutkan dengan pemasangan sendi tangan wayang, baik tangan bagian atas dengan tangan, bagian bawah, dan juga ke badan. Pemasangan sendi-sendi ini juga menggunakan tanduk kerbau yang sudah dibentuk menjadi sekrup-sekrup atau mur.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terakhir, tangan-tangan wayang tersebut yang sudah dipasang ke tubuh akan diberikan tangkai untuk menjadi alat penggerak.
Pertunjukan Wayang
Wayang kulit biasanya disajikan dalam bentuk pagelaran atau pertunjukan yang dimainkan oleh seorang dalang. Waktu pelaksanaannya selama semalaman penuh dengan iringan gamelan.
Dalang akan memainkan tiap peran dari wayang kulit yang ada, dengan berganti suara, berganti intonasi, hingga tenaga pun disesuaikan. Padahal, jumlah wayang kulit yang dibawa ketika pertunjukan bisa mencapai ratusan wayang.
Untuk itu, dalang memerlukan keterampilan dan juga ketahanan fisik yang kuat.
Cerita dalam pementasan wayang seringkali bersumber dari kisah Mahabharata yang menceritakan konflik antara keluarga Pandawa dan Kurawa. Terlepas dari itu, masih banyak lagi lakon atau cerita yang diangkat dalam pertunjukan wayang, seperti mengenai Gatotkaca, Kumbakarna Gugur, Sugriwa-Subali, dan sebagainya.
Fungsi Wayang Kulit
Pada awalnya, pertunjukan wayang berfungsi sebagai bentuk penghormatan terhadap roh-roh leluhur. Namun, seiring berjalannya waktu, berkembang menjadi alat untuk menyebarkan ajaran agama Hindu.
Pada masa Wali Songo, wayang kulit kemudian diadaptasi sebagai sarana dakwah Islam dengan melakukan penyesuaian pada beberapa aturan.
Penyesuaian ini dapat dilihat melalui tokoh wayang Pandawa Lima, yaitu Bima, yang memiliki senjata kuku Pancanaka. Versi Hindu menceritakan bahwa Pancanaka sebagai lima unsur alam semesta.
Dalam ajaran Hindu, penciptaan alam semesta melibatkan penyatuan kelima unsur tersebut melalui hubungan seksual, yang diwakili oleh Bima sebagai simbol Dewa Ciwa.
Namun, dalam dakwah Islam, cerita ini disampaikan dengan lebih halus melalui lakon Dewa Ruci. Kuku Pancanaka diartikan sebagai simbol sholat lima waktu (Pancanaka), sebagai usaha untuk menghindari perbuatan zina yang dianggap umum dalam cerita sebelumnya.
Selain itu, pertunjukan wayang menyuguhkan alur cerita dan adegan yang mencerminkan kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat.
Menurut Slamet, terdapat tiga pathet dalam pertunjukan wayang, yakni ada pathet enem, pathet sanga, dan pathet manyura. Diketahui, pathet merupakan pengaturan nada di gamelan yang mengiringi pertunjukan wayang.
Lebih lanjut, pathet di pewayangan ini berfungsi sebagai pembabakan dalam pembawaan ceritanya. Tiap pathet ini menjadi lambang dari kehidupan, dari seorang anak yang baru lahir, remaja, hingga ia dewasa.