Adab dan Cara Penggunaan Kain Batik dalam Adat di Keraton Jogja

Adab dan Cara Penggunaan Kain Batik dalam Adat di Keraton Jogja

Anggah - detikJateng
Minggu, 04 Des 2022 15:20 WIB
Koleksi batik Larangan Keraton Jogja yang dipamerka di Taman Pintar Jogja, Jumat (28/10/2022).
Koleksi batik Larangan Keraton Jogja yang dipamerka di Taman Pintar Jogja, Jumat (28/10/2022). Foto: Adji Ganda Rinepta/detikJateng
Yogyakarta -

Batik sebagai khasanah budaya Indonesia telah hidup sejak berabad abad silam. Pada saat itu kain batik merupakan salah satu busana pokok yang digunakan.

Sedangkan hingga kini batik masih terus berkembang dan menjadi tren di tengah masyarakat. Namun di dalam lingkungan adat Keraton Jogja, masih adab, tata cara hingga kesesuaiannya dalam mengenakan kain batik.

Menurut Carik Kawedanan Radya Kartiyasa Keraton Jogja Nyi R Ry Noorsundari, penggunaan batik di Keraton Jogja disesuaikan dengan status sosial, acara, usia dan kedudukan seseorang. Seiring bertambahnya usia maka tata cara penggunaan kain batik itu pun selalu disesuaikan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Batik itu menunjukkan status sosial di karton sendiri ada beberapa cara dalam penggunaan batik tergantung usia dan kedudukannya. Contohnya begini, untuk batik 0-5 tahun berbeda dengan yang 5-12 tahun, berbeda lagi dengan yang sudah dewasa" ucap di Keraton Jogja Kamis, (1/12).

Noorsundari juga mencontohkan, saat ini banyak anak yang berdandan menggunakan batik serta bersanggul. Padahal, menurutnya, penggunaan sanggul sendiri tidak boleh digunakan untuk anak-anak karena sanggul hanya boleh digunakan ketika sudah gadis atau sudah dewasa.

ADVERTISEMENT

Di samping itu adanya penggunaan bunga di dalam sanggul menyiratkan status pernikahan seorang.

"Ketika akil baligh baru boleh disanggul kemudian dilihat dari sanggulnya, kalau belum ada bunga berarti belum menikah. Hanya yang sudah menikah yang menggunakan bunga," kata Noorsundari.

Kemudian cara memakai batik untuk anak perempuan menggunakan istilah sabuk wala. Kain tersebut dalam penggunaannya hanya diputarkan dan tidak diikat terlalu kencang. Hal tersebut dilakukan untuk memungkinkan anak-anak tetap bisa berlari dan bermain.

"Karena yang namanya anak itu bergerak berlari dan bermain, bukan seperti biasanya kainnya diwiru," kata Noorsundari.

Ketika perempuan telah memasuki masa akil balig barulah diperkenankan menggunakan model punjungan. Hingga akhirnya sampai ke tahap pernikahan barulah dapat menggunakan kemben sebagai busana yang menyertainya.

Untuk anak laki-laki tidak jauh berbeda dengan perempuan salah satu yang membedakan adalah arah putarnya kain. Untuk perempuan umumnya searah jarum jam dan laki-laki melawan arah jarum jam.

"Untuk laki-laki hampir sama namanya kecolongan, arah putarnya yang membedakan kalau laki-laki biasanya yang bagian kanan itu di atas kalau yang perempuan bagian kiri di bagian atas, jadi putarannya laki melawan arah jarum jam, kalau perempuan searah jarum jam," kata Noorsundari.

Setelah laki-laki memasuki masa akil balig barulah model kainnya diwiru. Beberapa busana yang menyertainya juga boleh digunakan seperti blangkon dan keris.

Ketika berbicara dengan batik tidak lepas dengan motif yang ada di dalamnya maka secara adab dan tata cara penggunaannya ada beberapa motif yang tidak boleh dipergunakan secara umum. Hal tersebut merupakan hak prerogatif seorang raja

"Kalo kita berbicara batik juga akan berkenaan dengan motifnya. Ada beberapa motif batik yang tidak boleh dipergunakan secara umum karena itu adalah hak prerogatif sultan sebagai seorang raja," kata Noorsundari.

Mengutip dari www.kratonjogja.id beberapa motif, terutama yang memiliki nilai falsafah tinggi, dinyatakan sebagai batik larangan. Adapun yang termasuk batik larangan di Keraton Yogyakarta antara lain Parang Rusak Barong, Parang Rusak Gendreh, Parang Klithik, Semen Gedhe Sawat Gurdha, Semen Gedhe Sawat Lar, Udan Liris, Rujak Senthe, Parang-parangan, Cemukiran, Kawung, dan Huk.




(ahr/apl)


Hide Ads