Mengenal Batik Keraton yang Kaya Makna, Filosofi dan Spirit

Mengenal Batik Keraton yang Kaya Makna, Filosofi dan Spirit

Anggah - detikJateng
Sabtu, 03 Des 2022 22:21 WIB
Koleksi batik Larangan Keraton Jogja yang dipamerka di Taman Pintar Jogja, Jumat (28/10/2022).
Koleksi batik Larangan Keraton Jogja yang dipamerka di Taman Pintar Jogja, Jumat (28/10/2022). (Foto: Adji Ganda Rinepta/detikJateng)
Yogyakarta -

Batik memiliki perkembangan yang luas di penjuru daerah Indonesia. Bahkan di setiap daerah memiliki keunikan dan ciri khasnya masing-masing.

Salah satu yang menjadi sentra perkembangan utama batik adalah di daerah Keraton, batik di keraton tumbuh di antara perpaduan seni, adat, filosofi, dan jati diri kehidupan masyarakat keraton.

Menurut menurut Edukator sekaligus Creative Designer Museum Batik Jogja, Didik Wibowo, batik keraton adalah batik yang berkembang dengan pengaruh budaya keraton. Batik ini kaya akan makna filosofi dan spirit dengan ajaran masyarakat Jawa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Batik pedalaman atau sering disebut batik keraton yaitu batik yang berkembang di sekitar keraton dan mendapat pengaruh budaya keraton. Sering dikenakan untuk acara adat budaya, kaya akan makna, filosofi, spirit yang kental sekali dengan ajaran masyarakat Jawa," ujar Didik ditemui detikJateng di Museum Batik Jogja, Jumat (2/12/2022).

Batik keraton memiliki ciri khas tersendiri dengan paduan warna cokelat, hitam dan putih. Batik sebagai khazanah budaya Indonesia memiliki makna, filosofi dan harapan di dalamnya.

ADVERTISEMENT

Didik menyebut batik keraton selalu identik dengan warna cokelat hitam dan putih. Dari segi warna mengandung filosofi tersendiri cokelat mengandung simbol tanah kesuburan dan kerendahan hati.

"Batik keraton selalu berwarna cokelat hitam dan putih dari warnanya saja mengandung makna, warna cokelat mengandung tanah simbol dari kesuburan dan kerendahan hati. Siapa pun yang memakai batik keraton ia tak boleh tinggi hati atau sombong," ucap Didik.

Kemudian dari sisi warna putih menyiratkan kesucian perbuatan dan hitam kesabaran dan ketekunan. Menurut Didik, siapa pun yang mengenakan batik keraton apabila mengerti maknanya, bisa mengaplikasikan hendaknya tak boleh tinggi hati dan harus selalu memiliki kesucian dan kesabaran dalam perbuatan.

"Kemudian putih simbolisasi kesucian dalam perbuatan dan hitam juga simbolisasi dari kesabaran dan ketekunan. Siapa pun yang memakai batik keraton ia tahu makanannya, bisa mengaplikasikan itu ia tak boleh tinggi hati harus selalu memiliki kesucian dan kesabaran dalam perbuatannya" ujar Didik.

Selanjutnya Didik juga menjelaskan motif batik memiliki spirit dan doa di dalamnya. ia mencontohkan motif tambal yang menyiratkan nilai bahwa manusia hendak senantiasa melengkapi segala kekurangan dalam hidupnya dengan belajar.

"Seperti motif tambal ada spirit dan doanya tambal juga berarti seorang itu tidak boleh tinggi hati lagi karena manusia serba kekurangan. Intinya selalu harus belajar melengkapi segala kekurangan dalam dirinya tak ada orang yang sempurna," kata Didik.

Selain itu ada juga motif batik tirta teja yang berarti air yang terkena cahaya. Motif ini menyimbolkan harapan untuk tetap mendapatkan kejernihan hati dalam berpikir memandang dan memilih.

"Motif tirta teja menggambarkan air yang berombak kemudian terkena cahaya. Tirta berarti air teja berarti cahaya, jadi cahaya yang berombak simbol dari kejernihan hati kejernihan dalam memandang dalam memilih, seseorang harus memiliki kejernihan dalam pikiran harapannya begitu," ucap Didik.

Simak mengenai batik larangan di halaman selanjutnya.

Batik Larangan

Batik Keraton sangat erat kaitannya dengan masyarakat yang berada di dalam keraton bahkan batik ini adalah batik yang digunakan para raja dan pengikutnya. Dalam penggunaannya ada motif-motif batik yang memiliki aturan tertentu yang tidak semua orang boleh memakainya batik ini disebut dengan batik larangan atau batik awisan dalem.

Mengutip dari www.kratonjogja.id, keyakinan akan adanya kekuatan spiritual maupun makna filsafat yang terkandung dalam motif kain batik menjadi salah satu hal yang melatarbelakangi adanya batik larangan di Jogja. Motif pada batik dipercaya mampu menciptakan suasana yang religius serta memancarkan aura magis sesuai dengan makna yang dikandungnya.

Oleh karena itu beberapa motif, terutama yang memiliki nilai falsafah tinggi, dinyatakan sebagai batik larangan. Adapun yang termasuk batik larangan di Keraton Jogja antara lain Parang Rusak Barong, Parang Rusak Gendreh, Parang Klithik, Semen Gedhe Sawat Gurdha, Semen Gedhe Sawat Lar, Udan Liris, Rujak Senthe, Parang-parangan, Cemukiran, Kawung, dan Huk.

Setiap sultan yang sedang bertakhta memiliki kewenangan untuk menetapkan motif batik tertentu ke dalam batik larangan. Parang Rusak adalah motif pertama yang dicanangkan sebagai pola larangan di Kesultanan Jogja oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada 1785.

Didik juga menjelaskan salah satu filosofi batik kawung yang merupakan salah satu dari motif larangan. Didik menyebut motif batik kawung terinspirasi dari buah kolang-kaling yang menyimbolkan kejernihan hati.

"Kawung bentuknya semacam bulatan kayak elips yang dirangkai satu bentuk hampir kayak lingkaran. beberapa catatan menyatakan ini terinspirasi dari buah Kolang-kaling bentuknya putih dan jernih sebagai simbol kejernihan hati dan lain-lain," ucap Didik.

Didik juga menjelaskan wajikan yang berada dalam motif batik kawung. banyak dikatakan itu sebagai intan tahu melinjon dalam konteks tertentu tengahnya ini simbol dari seorang pemimpin yang hadir di tengah masyarakat.

"Kawung ini bentuknya melingkar di tengahnya terdapat wijikan banyak di katakan ini sebagai intan, melinjon. Dalam konteks tertentu tengahnya ini simbol dari seorang pemimpin juga di maknai simbol sebagai masyarakat dan raja berada di tengah masyarakat itu, " kata Didik.

Terakhir didik menjelaskan bentuk lingkaran dalam motif kawung menyiratkan bahwa raja harus bersikap adil, baik bagi manusia dan alam semesta. Hendaknya pemimpin dalam kebijakannya menimbang semuanya hingga seimbang baik untuk manusia maupun alam.

"Selain itu kawung juga memiliki bentuk lingkaran, jadi raja itu harus adil dari beberapa catatan pemimpin itu bukan hanya untuk manusia tetapi juga alam semesta. Kebijakan raja tidak boleh melukai tanah air dan udara jadi tidak boleh sembarangan, kalo bagus untuk manusia baik untuk alam itu tidak baik maka itu tidak boleh harus seimbang semuanya ," ucap Didik.

Halaman 2 dari 2
(aku/aku)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads