Kaesang Pangarep dan Erina Sofia Gudono akan menggelar akad nikah pada akhir pekan ini di Royal Ambarrukmo Jogja. Setelah itu, keduanya akan menggelar tasyakuran pernikahan di Puro Mangkunegaran Solo.
Gibran Rakabuming Raka selaku kakak sekaligus juru bicara pernikahan Kaesang dan Erina mengatakan tamu undangan tidak diperkenankan memakai pakaian batik dengan motif-motif tertentu.
"Untuk masuk Puro Mangkunegaran nggak boleh pakai batik motif parang atau lereng," kata Gibran ditemui di Balai kota Solo, Senin (5/12/2022).
Menurut Gibran, aturan tersebut disampaikan langsung Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegoro X. Menurutnya, hal tersebut memang sudah lama diatur dalam adat Mangkunegaran.
Penjelasan Pakar UNS soal Batik Parang di Puro Mangkunegaran
Lalu, apa alasan di balik batik parang sehingga dilarang digunakan di Puro Mangkunegaran? Berikut penjelasannya.
Pakar Sejarah Universitas Sebelas Maret Insiwi Febriary Setiasih menyebut larangan batik parang dikenakan di Puro Mangkunegaran tersebut merupakan bagian dari aturan cara berpakaian di Puro Mangkunegaran.
"Di Puro Mangkunegaran seperti halnya keraton yang lain di Jawa, tentu saja mereka punya tata aturan yang harus dipenuhi atau dipatuhi baik oleh orang di dalam lingkungan istana maupun di luar istana, salah satunya adalah cara berpakaian," kata Insiwi saat dihubungi detikJateng pada (5/12).
Insiwi menjelaskan cara berpakaian tersebut berkaitan dengan stratifikasi sosial atau jabatan tertentu di dalam istana yang mana Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegoro adalah jabatan tertinggi sebagai pimpinan trah dari Mangkunegaran.
"Nah, cara berpakaian ini sebetulnya menunjukkan stratifikasi sosial khususnya stratifikasi sosial jabatan-jabatan tertentu yang ada di dalam istana," kata Insiwi.
Adapun pakaian yang diperbolehkan atau batik yang boleh digunakan keluarga pembesar di Mangkunegaran adalah batik bermotif parang.
"Pakaian resmi yang diperbolehkan dipakai, batik yang diperbolehkan dipakai oleh Kanjeng Gusti dan juga oleh permaisuri itu adalah batik yang bermotif parang, sementara kelengkapan kelengkapan lain misalnya sabuk, beskap, dan lain sebagainya, dari mulai Kanjeng Gusti sampai dengan bawah-bawahannya, misalnya sampai lurah kalau zaman dulu, itu semuanya berbeda-beda," kata Insiwi.
Insiwi mengatakan kelengkapan pakaian yang paling lengkap tentu saja dimiliki oleh mereka yang berada di strata sosial paling tinggi.
"Ada mulai dari yang paling lengkap tentu saja dimiliki oleh strata sosial yang paling tinggi, tapi semakin ke bawah itu motif batik yang digunakan semakin berbeda, sampai dengan kelengkapan pakaiannya," kata Insiwi.
Insiwi kemudian menegaskan larangan penggunaan batik parang tersebut adalah larangan untuk tidak boleh menyamai pakaian yang dikenakan Mangkunegoro atau pemilik rumah itu sendiri.
"Jadi larangan penggunaan batik parang sebetulnya adalah larangan untuk tidak boleh menyamai pemilik rumah, yang sedang menjadi tuan rumah pada acara tersebut, khususnya bangsawan," kata Insiwi.
Hal tersebut juga diterapkan dalam aturan pernikahan adat Jawa yang khususnya diselenggarakan di istana, baik itu di Mangkunegaran atau di Kasunanan.
"Itu kemudian juga ditiru atau digunakan pula di dalam aturan pernikahan Jawa khususnya yang ada di istana baik itu Mangkunegaran atau Kasunanan. Jadi larangan (menggunakan) batik parang itu sebetulnya untuk menunjukkan siapa stratifikasi sosial paling tinggi di situ," tutup Insiwi.
(ahr/ams)