Legenda Rawa Pening adalah cerita rakyat zaman dulu yang mengisahkan tentang awal mula terbentuknya danau atau Rawa Pening yang kini menjadi objek wisata di Kabupaten Semarang. Berikut legenda Rawa Pening yang sudah jarang dikenal oleh khalayak.
Dikutip dari detikTravel pada Rabu (21/9/2022), legenda Rawa Pening menceritakan tentang sepasang suami istri bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta yang tinggal di Desa Ngasem, di lembah antara Gunung Merbabu dan Telomoyo.
Rawa Pening adalah sebuah danau yang menjadi obyek wisata di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Ada sebuah legenda turun temurun yang mengisahkan awal mula terbentuknya danau tersebut, yakni Legenda Rawa Pening.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kisahnya dahulu kala terdapat sebuah desa bernama Ngasem yang terletak di lembah antara Gunung Merbabu dan Telomoyo. Di desa tersebut bermukim sepasang suami-istri bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta.
Karena dikenal pemurah dan suka menolong, pasutri yang belum dikaruniai anak itu begitu dihormati oleh masyarakat sekitar. Suatu hari, Nyai Selakanta mengutarakan keinginannya untuk segera menimang buah hati.
Demi mewujudkan keinginan istrinya, Ki Hajar pun bertapa ke lereng Gunung Telomoyo hingga berbulan- bulan. Nyai Selakanta pun mengkhawatirkan keadaan suaminya yang bertapa sampai tak kunjung pulang.
Secara ajaib, Nyai Selakanta pun mengandung di rumah sendirian. Namun, saat melahirkan, betapa terkejut dia karena yang lahir dari perutnya adalah seekor naga. Anak itu diberi nama Baru Klinthing yang diambil dari nama tombak milik suaminya.
Kata 'Baru' berasal dari kata bra yang artinya keturunan Brahmana, yaitu seorang resi yang kedudukannya lebih tinggi dari pendeta. Sementara kata 'Klinthing' berarti lonceng. Meski berwujud naga, Baru Klinthing dapat berbicara seperti manusia.
Merasa malu telah melahirkan seekor naga, Nyai Selakanta merawat Baru Klinthing dengan sembunyi-sembunyi. Dia pun berencana kelak akan membawa Baru Klinthing ke Bukit Tugur agar jauh dari warga.
Beranjak dewasa, Baru Klinthing pun menanyakan perihal ayahnya. Nyai Selakanta pun mengutus Baru Klinthing untuk menyusul ayahnya yang bertapa di lereng Gunung Telomoyo. Baru Klinthing juga dititipi membawa pusaka tombak Baru Klinthing milik ayahnya.
Sesampainya di lereng Gunung Telomoyo, Baru Klinthing langsung bersembah sujud di hadapan ayahnya yang sedang duduk bersemedi. Awalnya Ki Hajar tidak percaya jika naga tersebut adalah anaknya. Baru Klinthing kemudian menunjukkan pusaka milik Ki Hajar.
"Baiklah, aku percaya jika pusaka Baru Klinthing itu adalah milikku. Tapi, bukti itu belum cukup bagiku. Jika kamu memang benar-benar anakku, coba kamu lingkari Gunung Telomoyo ini!" ujar Ki Hajar.
Kisah Baru Klinthing dan sebatang lidinya ada di halaman selanjutnya...
Dengan kesaktiannya, Baru Klinting dapat melingkari Gunung Telomoyo. Ki Hajar akhirnya mengakui naga itu adalah anaknya. Setelah itu, ia memerintahkan Baru Klinthing bertapa di Bukit Tugur, agar tubuhnya berubah menjadi manusia.
Sementara itu, ada sebuah desa bernama Pathok yang sangat Makmur. Namun, penduduk desa itu dikenal sangat angkuh. Suatu ketika, penduduk Desa Pathok bermaksud mengadakan pesta sedekah bumi setelah panen. Mereka pun berburu binatang di Bukit Tugur.
Singkat cerita, mereka beramai-ramai menangkap Baru Klinthing dan memotong-motong dagingnya untuk dijadikan hidangan pesta.
Ketika para warga sedang asyik berpesta, datanglah seorang anak laki-laki penuh luka berbau amis. anak itu adalah penjelmaan Baru Klinthing. Dia meminta makanan, namun warga desa itu justru memaki dan mengusirnya.
Anak itu pun meninggalkan desa. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan janda tua bernama Nyi Latung. Nyi Latung mengajak Baru Klinthing ke rumahnya dan memberinya makanan.
Dalam perbincangan, Baru Klinthing menyarankan agar warga diberi pelajaran. Dia meminta Nyi Lantung jika mendengar suara gemuruh, untuk segera menyiapkan alat menumbuk padi dari kayu alias lesung.
Baru Klinthing pun kembali ke pesta desa itu dengan membawa sebatang lidi. Di tengah keramaian, ia menancapkan lidi itu ke tanah. Dia meminta warga mencabut lidi yang ditancapkan. Tak seorang pun yang mampu mencabutnya. Dengan kesaktiannya, Baru Klinthing bisa mencabut lidi itu dengan mudah. Begitu lidi itu tercabut, suara gemuruh pun menggentarkan seluruh isi desa.
Air pun menyembur keluar dari bekas tancapan lidi itu. Semakin lama semburan air semakin besar sehingga terjadilah banjir besar. Semua penduduk desa itu tenggelam. Desa itu pun berubah menjadi rawa atau danau yang kini dikenal dengan Rawa Pening.
Baru Klinthing lalu menemui Nyi Latung yang sudah menunggu di atas lesung yang berfungsi sebagai perahu. Dia selamat bersama nenek itu. Baru Klinthing lalu kembali menjadi naga untuk menjaga Rawa Pening.