Tradisi Rebo Wekasan dan Tiga Versi Sejarahnya

Tradisi Rebo Wekasan dan Tiga Versi Sejarahnya

Tim detikJateng - detikJateng
Rabu, 21 Sep 2022 02:02 WIB
Warga menggelar tradisi Kirab Air Salamun Rebo Wekasan di Desa Jepang, Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus, Selasa (20/9/2022).
Warga menggelar tradisi Kirab Air Salamun Rebo Wekasan di Desa Jepang, Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus, Selasa (20/9/2022). Foto: Dian Utoro Aji/detikJateng
Solo -

Seribuan warga mengikuti Kirab Air Salamun Rebo Wekasan di Desa Jepang, Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus, Selasa (20/9) siang. Dalam acara tradisi tersebut, puluhan gunungan dikirab, menempuh rute sejauh 2 kilometer. Apa itu tradisi Rebo Wekasan? Berikut penjelasannya.

Mander Masjid Wali Al-Makmur Desa Jepang, Muhammad Ridwan, mengatakan Kirab Air Salamun Rebo Wekasan rutin diselenggarakan tiap Rabu terakhir (wekasan dan pungkasan dalam Bahasa Jawa) di bulan Safar dalam kalender Hijriah.

"Setiap akhir bulan Safar itu Allah menurunkan 330 ribu balak. Makanya, di akhir Rabu bulan Safar ini kita diminta untuk bersedekah dan banyak berdoa," kata Ridwan saat ditemui detikJateng di sela acara tradisi Rebo Wekasan, Selasa (20/9/2022) siang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dikutip dari laman warisanbudaya.kemdikbud.go.id, sejarah hadirnya tradisi Rebo Wekasan ditelaah dalam berbagai versi.

Versi pertama, tradisi Rebo Wekasan sudah ada sejak tahun 1784. Pada zaman itu hidup kiai Mbah Faqih Usman yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai Wonokromo Pertama atau Kiai Welit.

ADVERTISEMENT

Kiai Welit diceritakan memiliki kelebihan ilmu di bidang ketabiban atau penyembuhan penyakit. Pada waktu itu masyarakat Wonokromo meyakini beliau mampu mengobati penyakit dan metode suwuk, yakni membacakan ayat-ayat AI-Qur'an pada segelas air yang kemudian diminumkan kepada pasiennya.

Ketenaran Mbah Kiai Faqih pun terdengar oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I. Singkat cerita, Mbah Kiai diundang Sultan untuk memperagakan ilmunya dan terbukti dapat menyembuhkan pasien.

Sepeninggal Mbah Kiai, lalu masyarakat meyakini mandi di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan berkah.

"Sehingga setiap hari Rebo Wekasan, masyarakat berbondong-bondong untuk mencari berkah," tulis laman warisanbudaya.kemdikbud.go.id, dikutip pada Selasa (20/9/2022).

Versi kedua tak jauh berbeda, hanya saja tradisi Rebo Wekasan ini tidak terlepas dari Keraton Mataram dengan Sultan Agung yang dulu pernah berkeraton di Pleret, Bantul. Upacara adat ini diselenggarakan sejak tahun 1600.

Pada masa pemerintahan Mataram terjangkit wabah penyakit, kemudian diadakan ritual menolak bala wabah penyakit ini dan Rebo Pungkasan diadakan sebagai wujud doa.

Versi ketiga juga tentang Kiai Muhammad Faqih dari Desa Wonokromo. Kiai Faqih ini juga disebut Kiai Welit karena pekerjaannya membuat welit atau atap dari rumbia. Masyarakat mendatangi Kiai Welit supaya membuatkan tolak bala yang berbentuk wifik atau rajah yang bertuliskan Arab.

Rajah ini kemudian dimasukkan ke dalam bak yang sudah diisi air lalu dipakai untuk mandi dengan harapan supaya yang bersangkutan selamat. Adat tersebut kemudian dinamai malam Rebo Pungkasan.

Tentang konsep tolak balak dan ngalap berkah ada di halaman selanjutnya...

Sebelum proses adat ini dilakukan, biasanya terdapat pasar malam di Lapangan Desa Wonokromo yang diadakan seminggu sebelum malam puncak Rabu Pungkasan. Upacara tersebut tersusun atas sambutan takmir masjid, pembacaan selawat, dan doa bersama yang dipimpin seorang sesepuh Desa Wonokromo.

Makna yang terkandung tradisi ini adalah Tolak Balak dan Ngalap Berkah. Tolak Balak adalah upaya untuk menghindari berbagai malapetaka yang mungkin muncul. Rabu Wekasan dalam sejarah Islam oleh orang-orang Jahiliah sering disebut sebagai bulan sial, sehingga tradisi ini juga dimaksudkan sebagai ruang doa bersama dalam menghindari berbagai malapetaka.

Sedangkan konsep Ngalap Berkah ada karena bentuk kehormatan kepada sosok ulama yang menjadi cikal bakal tradisi ini. Keterkaitan Kyai Welit sebagai tokoh sentral dalam sejarah Rabu Wekasan dianggap memiliki kemampuan linuwih yang juga memiliki kharisma dan sosok ulama besar.

Masyarakat Wonokromo yang sebagian besar warganya adalah kalangan santri sangat terikat oleh konsep Ngalap Berkah ini. Bentuk penghormatan kepada ulama akan menjadi jalan keberkahan di dalam hidup orang. Tradisi Rabu Wekasan juga menjadi ruang silaturahmi antara ulama dengan desa.

Halaman 2 dari 2
(dil/apl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads