Warga di Kalurahan Wonokromo, Kapanewon Pleret, Kabupaten Bantul, menggelar upacara adat Rebo Pungkasan atau Rebo Wekasan. Dalam kegiatan itu mereka mengarak makanan berupa lemper ukuran raksasa di pendopo kalurahan setempat, Selasa (20/9/2022).
Acara tersebut digelar pada petang hari selepas waktu magrib. Pasukan bregada dari beberapa padukuhan melakukan kirab dengan membawa lemper dan berbagai hasil bumi.
"Rutenya dari Masjid Al-Huda Karanganom menuju ke Balai Desa Wonokromo dengan durasi sekitar satu jam. Lalu lemper raksasa yang dikirab dinaikkan ke pendopo," kata Lurah Wonokromo, Mahrus Hanafi, Selasa (20/9).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terus sambutan sampai pemotongan dan pembagian atau sedekah lemper kecil-kecil untuk warga di halaman pendopo. Untuk lemper yang raksasa itu dipotong-potong juga tapi yang dibagi lemper yang kecil-kecil itu," imbuh Mahrus.
Menurutnya, tradisi Rebo Pungkasan di Wonokromo merupakan akulturasi antara kegiatan agama dan budaya. Rangkaian acara mulai Senin (19/9) berlangsung majelis doa yaitu dari subuh melakukan semaan Al-Qur'an.
"Sore kenduri, di situ intinya berdoa. Pertama mengirim leluhur lalu berharap tolak bala, intinya berharap keselamatan karena bulan Safar (kalender Hijriah) itu identik semacam penyakit atau pagebluk. Intinya adalah doa keselamatan terus dirangkai dengan kegiatan budaya," ujarnya.
![]() |
Berawal dari Kisah Kiai Welit
Lurah Wonokromo, Mahrus Hanafi, menjelaskan acara adat Rebo Pungkasan berawal dari masa Sultan Agung. Di mana saat itu ada semacam guru agama dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang bertempat tinggal di Pedukuhan Wonokromo I bernama Kiai Welit.
Selengkapnya di halaman selanjutnya...
"Kemudian menurut riwayat yang saya dengar dulu memang di bulan Safar istilahnya banyak balak atau pagebluk, banyak warga masyarakat yang minta tolong kepada kiai untuk memberikan solusi entah itu sakit dan permasalahan lain," katanya.
Menyisipkan Dakwah
Karena memiliki kemampuan untuk menyembuhkan, Kiai Welit lantas mengobati masyarakat yang berdatangan. Alhasil, dari waktu ke waktu banyak masyarakat yang berduyun-duyun dan di saat itulah Kiai Welit memberikan dakwah kepada masyarakat.
"Sesuai dengan kemampuan beliau sebagai ulama kan kemudian tidak hanya memberikan pengobatan, namun lebih memberikan pencerahan kepada masyarakat (berdakwah). Seperti mengajari bersuci di sungai baru masuk ke masjid dan diberikan proses-proses pengobatan," ucapnya.
Hal itu memicu keramaian di sekitar Pedukuhan Wonokromo I, khususnya di kediaman Kiai Welit. Seiring berjalannya waktu Pedukuhan Wonokromo I menjadi ramai.
"Berkaitan dengan keramaian itu di masa Pak Lurah Wonokromo pertama memindahkan keramaian dari masjid di dekat tempuran ke lapangan di dekat Balai Desa Wonokromo, asal muasal Rebo Pungkasan dengan keramaian itu perjalanannya. Jadi memisahkan keramaiannya dan sekarang jadi kayak pasar malam malahan," ucapnya.
Simak Video "Video: Momen Nelayan Prigi Trenggalek Gelar Labuh Larung Sembonyo"
[Gambas:Video 20detik]
(ahr/rih)