Menelisik Penyebab Tradisi 'Tunggon' yang Picu Pernikahan Dini di Wonogiri

Menelisik Penyebab Tradisi 'Tunggon' yang Picu Pernikahan Dini di Wonogiri

Muhammad Aris Munandar - detikJateng
Minggu, 28 Agu 2022 13:38 WIB
Arab Emirati family outdoors in park.
Ilustrasi. Foto: Getty Images/iStockphoto/aydinmutlu
Wonogiri -

Pemerintah Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, berusaha keras menghapus tradisi tunggon. Tradisi ini disebut-sebut menjadi pemicu tingginya angka pernikahan dini di kabupaten itu.

Tunggon merupakan budaya di masyarakat berupa seorang laki-laki yang menunggui seorang perempuan yang hendak dinikahi. Pria itu menunggui dengan cara tinggal di rumah keluarga perempuan itu.

Rata-rata perempuan yang ditunggu itu masih berusia di bawah umur. Biasanya lulus dari SMP, karena mereka tidak melanjutkan ke jenjang SMA atau SMK.
Tradisi ini masih hidup di beberapa wilayah di Wonogiri, salah satunya di Kecamatan Karangtengah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Setiap hari si laki-laki membantu seluruh pekerjaan atau aktivitas dari orang tua si perempuan itu tadi. Ya biasanya mencari rumput, mencangkul dan lain-lain, sesuai pekerjaan orang tuanya," kata Pj Kepala Desa Karangtengah, Wiyono, belum lama ini.

Menurut Wiyono, ada beberapa kondisi yang membuat tradisi turun-temurun ini masih tetap hidup di era modern ini. Salah satunya, warga justru merasa bangga saat anak gadisnya sudah ditunggui oleh laki-laki.

ADVERTISEMENT

"Sebagian mindset orang tua itu jika ada yang melamar atau nunggoni itu bangga. Karena sudah tidak khawatir anaknya tidak laku atau jadi perawan kasep (terlambat)," kata dia.

Selain itu, lanjutnya, setiap tradisi tunggon selalu berujung pada pernikahan. Warga menganggap tradisi ini menghindarkan anaknya dari risiko pergaulan bebas.

Selain itu, minimya fasilitas pendidikan juga menjadi salah satu pendorong masih bertahannya tradisi ini. Rata-rata anak di daerah itu hanya berpendidikan sampai SMP. Sebab, tidak ada sekolah SMA di daerah tersebut.

Hal senada diakui juga oleh Camat Karangtengah, Tri Wiyatmoko. Menurutnya, SMA terdekat dari daerah itu berada di Baturetno yang jaraknya mencapai 25 kilometer.

"Masyarakat kami yang setelah lulus SMP banyak yang tidak bisa melanjutkan (SMA atau SMK). Hal itu karena jarak tempuh sekolah terdekat cukup jauh. Mereka harus ke luar dari Karangtengah," kata Tri.

Kondisi itu membuat banyak anak yang berhenti sekolah hingga lulus SMP saja dan kemudian dinikahkan dalam usia belia.

Hingga kini, pihaknya terus berusaha menghilangkan tradisi tunggon yang dianggapnya mendorong pernikahan usia dini di kabupaten tersebut. Di sisi lain, pihaknya juga berusaha untuk mengusulkan dibangunnya sekolah SMA di daerah itu.

"Setiap Musrenbang, kami selalu mengusung itu (SMA di Karangtengah). Kalau di mana tempatnya belum kami tentukan. Kami masih menunggu keinginan yang diusulkan," kata Tri Wiyatmoko.




(ahr/rih)


Hide Ads