Puluhan tahun silam, layar lebar atau bioskop sempat menjadi primadona di Kota Solo. Tingginya antusiasme masyarakat menonton film membuat gedung bioskop banyak didirikan di Solo.
Menjamurnya gedung bioskop di Solo itu tidak terlepas dari berdirinya perusahaan listrik NV Solosche Electriciteit Maatschappij (SEM). Dalam laman surakarta.go.id disebutkan keberadaan perusahaan listrik itu punya andil besar ihwal merebaknya bioskop dengan gedung permanen di Kota Solo.
Setidaknya muncul beberapa nama seperti bioskop Sriwedari, Nieuw Bioscoop di Pasar Pon, dan Schouwburg Poerbajan atau dikenal sebagai Bioskop Purbayan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Memasuki tahun 1980, jumlah gedung bioskop di Solo bertambah. Seperti Bioskop Star di Widuran, Dhady Theatre dan Ura Patria (UP) Theatre di Pasar Pon, Galaxy Theatre di jalan Perintis Kemerdekaan Purwosari, Solo Theatre di Sriwedari, dan Nusukan Theatre di Nusukan.
![]() |
Selain itu ada juga Regent Theatre di Jalan Veteran, Golden Theatre di Wingko, Bioskop Trisakti, President Theatre, dan Rama Theatre di Panggung Jebres, dan Bioskop Kartika di Beteng.
Cara mempromosikan film yang akan diputar waktu itu juga dilakukan secara manual. Yakni dengan memajang jadwal serta film yang bakal ditayangkan serta waktunya. Selain itu jadwal film juga diumumkan melalui selebaran yang disebar di kawasan padat penduduk.
Memasuki 1990, perusahaan bioskop besar mulai melakukan invasi ke Solo. Sebut saja Atrium 21. Keberadaan gedung bioskop ini tentunya menawarkan keunggulan tersendiri dibandingkan bioskop tradisional.
Seperti kursi lebih empuk, ber-AC, dan koleksi film yang lebih update. Hanya saja, kerusuhan yang terjadi pada 1998, berdampak besar terhadap keberadaan bioskop modern.
"Ketika kerusuhan Mei 1998, bioskop mewah tersebut dibakar massa. Hadirnya alternatif hiburan dalam bentuk VCD, DVD, dan siaran TV swasta, juga berdampak pada mulai sepinya peminat bioskop," terang sejarawan Heri Priyatmoko kepada detikJateng, Rabu (1/6/2022).
Heri menambahkan, para pengelola juga mengeluhkan terbatasnya akses mendapatkan film baru. Untuk memperoleh film Indonesia baru, mereka menunggu paling tidak 2-6 bulan setelah jaringan bioskop di kota-kota besar selesai memutarnya.
"Tetapi manakala mereka telah menerima jatah, VCD dan DVD bajakan film itu sudah banyak beredar pula. Akhirnya mereka tergilas dan banyak yang kolaps," ucapnya.
Sisa-sisa kejayaan bioskop masa orde baru itu kini seakan sudah sirna sepenuhnya dari Solo. Tidak ada sedikitpun bangunan atau jejak yang bisa menggambarkan eksistensi gedung yang puluhan tahun silam begitu dijejali penonton.
Ada yang sudah rata dengan tanah, ada yang sudah berubah fungsi menjadi pertokoan, ruko, tempat ibadah dan juga menjadi restoran.
![]() |
Kondisi ini seperti yang terlihat dari Solo Theatre. Bioskop yang awal berdiri bernama Sriwedari Theatre itu kini sudah rata dengan tanah. Bahkan, lahan yang ada di kompleks Masjid Taman Sriwedari itu sudah berubah fungsi menjadi arena latihan panahan.
Kemudian bioskop Star Theatre yang ada di Widuran. Saat ini sudah menjadi tempat ibadah. Sementara untuk bioskop UP di kawasan Sar Pon juga sudah berubah menjadi toko elektronik. Sedangkan Dhady berganti wujud menjadi restoran cepat saji.
Warga Widuran, Ajid (37) mengatakan, Star Theatre menjadi salah satu gedung bioskop yang paling ramai kala itu.
"Dulu juga sering nonton di sana, itu bioskop paling ramai di Solo. UP, Dhedy dan lainnya masih kalah ramai," paparnya.
"Kalau harga tiketnya waktu itu ya kira-kira masih Rp 500, saya sukanya menonton Warkop, Dono-Kasino-Indro," kenangnya.
(aku/dil)