LP2K Sebut Konsumen Berhak Menggugat Ayam Goreng Widuran, Ini Pasalnya

LP2K Sebut Konsumen Berhak Menggugat Ayam Goreng Widuran, Ini Pasalnya

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Rabu, 28 Mei 2025 14:31 WIB
Suasana terkini rumah makan Ayam Goreng Widuran yang ditutup gegara polemik menu nonhalal, Rabu (28/5/2025).
Suasana terkini rumah makan Ayam Goreng Widuran yang ditutup gegara polemik menu nonhalal, Rabu (28/5/2025). Foto: Tara Wahyu NV/detikJateng.
Semarang -

Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) angkat bicara soal kasus restoran Ayam Goreng Widuran di Solo yang viral karena mengandung bahan olahan nonhalal. LP2K menyebut perbuatan pemilik Ayam Goreng Widuran merupakan pelanggaran serius terhadap hak konsumen dan konsumen bisa melayangkan gugatan.

Ketua LP2K, Abdun Mufid, mengatakan restoran yang tidak pernah memberikan informasi atau keterangan nonhalal di produknya itu melanggar Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang menjamin hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur terkait kondisi barang dan jasa.

"Informasi kehalalan ini sangat penting, karena menyangkut hak religiusitas konsumen, terutama mereka yang muslim. Bagi mereka, mengonsumsi makanan halal itu adalah kewajiban agama," kata Abdun saat dihubungi, Rabu (28/5/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Abdun menjelaskan, meski produk nonhalal tidak diwajibkan memiliki sertifikat halal menurut UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), pelaku usaha tetap wajib mencantumkan informasi bahwa produk mereka tidak halal.

"Produsen mencantumkan tulisan nonhalal itu lebih mudah karena tidak perlu ada uji, mengajukan permohonan. Hal yang sederhana saja kenapa tidak dilakukan? Tinggal mencantumkan saja produk itu nonhalal," ujarnya.

ADVERTISEMENT

"Kami menilai ada iktikad tidak baik dari pelaku usaha, nggak tahu apa alasannya, mungkin supaya tetap laris, begitu," lanjut dia.

Wajib Beri Kompensasi

Lebih jauh, Abdun menyoroti kemungkinan adanya sanksi pidana jika dilihat dari sisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Mengacu dari Pasal 8 ayat 1 huruf a dan Pasal 62 yang menyebutkan, pelaku usaha yang menjalankan usahanya tidak sesuai standar dan peraturan perundang-undangan bisa dikenai sanksi pidana.

"Di Undang-undang Konsumen juga dicantumkan kewajiban pelaku usaha memberikan ganti rugi kompensasi ketika konsumen dirugikan. Terus secara keperdataan juga ada ganti rugi, tapi memang namanya hak konsumen biasanya harus digugat," jelasnya.

"Konsumen punya hak menggugat pelaku usaha melalui gugatan terhadap kerugian yang diperoleh konsumen. Bisa melalui gugatan perbuatan melawan hukum, karena ada peraturan perundang-undangan yang dilanggar," lanjutnya.

Gugatan itu, kata Abdun, bisa dilakukan secara individual maupun melalui class action. Gugatan ini bisa diajukan ke pengadilan sebagai bentuk perlindungan terhadap kerugian akibat pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha.

Terkait kemungkinan penutupan permanen usaha ayam goreng tersebut, Abdun menyebut itu sebagai sanksi administratif yang wajar. Ia pun sepakat dengan keputusan itu.

"Penutupan itu sebagai sanksi administratif yang tegas dari pemerintah terhadap pelaku usaha yang tidak mengindahkan peraturan perundangan dan merugikan masyarakat, saya sepakat itu dilakukan," ujarnya.

Namun, Abdun mengingatkan, pelaku usaha masih bisa membuka usaha baru, asalkan mematuhi aturan yang ada, terutama mencantumkan informasi nonhalal secara jelas jika produknya memang demikian.

Ia mengatakan, jika konsumen dinilai harus lebih aktif bertanya apakah suatu produk halal atau nonhalal, hal itu hanyalah alasan pembenar saja. Sudah menjadi kewajiban pelaku usaha memberikan informasi yang jelas terkait produknya.

"Persoalannya juga, Solo kan sudah jadi tempat wisata, orang tidak peduli apakah itu di Pecinan atau apapun, yang berkunjung ke sana mereka akan mengonsumsi apa yang ada di sana," tuturnya.

Abdun menambahkan, bila benar warung tersebut pernah menggunakan tenda bertuliskan 'halal', padahal produknya tidak demikian, maka itu merupakan pelanggaran yang lebih serius.

"Itu pengelabuan terang-terangan terhadap konsumen. Bisa langsung kena Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Klaimnya halal tapi produknya tidak halal," pungkasnya.




(apl/apu)


Hide Ads