Kabar terkait pemangkasan gaji untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menuai kontroversi, termasuk dari Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KPSN) Jawa Tengah. Berikut beberapa pernyataan KPSN terkait kebijakan Tapera yang dinilai merugikan.
Tapera merupakan kebijakan baru pemerintah terkait kepemilikan rumah. Kebijakan ini ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera.
Berdasarkan PP tersebut, gaji pekerja akan dipotong sebesar 2,5 persen dan 0,5 untuk Tapera. Kebijakan ini lantas menuai kontra dari Ketua KPSN Jateng, Nanang Setyono saat dihubungi detikJateng, Selasa (28/5/2024). Berikut adalah beberapa pernyataannya:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Rata-rata Upah Hanya Rp 2 Juta
Menurut Nanang, gaji buruh saat ini terbilang rendah dan rata-rata kenaikannya hanya 4-5 persen per tahun. Ia keberatan jika gaji buruh yang rendah itu masih harus disisihkan untuk iuran Tapera.
"Kami keberatan karena, khususnya berbicara di Jawa Tengah, rata-rata upah hanya Rp 2 juta, nah itu kalau sudah dipotong BPJS kemudian sekarang dipotong lagi Tapera sebesar 2,5 persen, nah tentunya kami sangat keberatan," kata Nanang lewat panggilan telepon.
2. Dinilai Tak Realistis
Menyinggung pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut masyarakat kelak akan terbiasa dengan iuran Tapera, Nanang menyatakan Tapera baru bisa diterapkan oleh peserta dengan gaji yang terbilang mencukupi.
"Kalau bicara manfaat, bagi yang upah cukup, ya jadi alasan tadi (bakal terbiasa) boleh. Karena orang yang tidak punya rumah dan diberikan harapan bisa punya rumah itu mungkin manfaatnya di situ, bagus. Tapi sebelum bicara manfaat, apakah realistis dengan upah yang diterima jika (Tapera) diterapkan," ujarnya.
3. Manfaatnya Dipertanyakan
Menurut Nanang, pemerintah harus menjelaskan secara detail program Tapera. Pasalnya, masih banyak hal-hal yang jadi pertanyaan. Contohnya, jika pekerja telah memiliki rumah apakah masih harus menjadi peserta dan kapan peserta akan menerima manfaat program tersebut.
"Perlu dijelaskan pemerintah, sistemnya gimana, kita dipotong gaji sekarang, manfaat didapat kapan. Itu tidak dijelaskan kapan. Apakah bisa dirasakan setelah 10 tahun jadi peserta, atau 20 tahun?" ujarnya.
"Sama kayak program pensiun. Kita dipotong tahun 2015, manfaatnya baru dirasakan nanti di tahun 2030. Nah pada saat berjalan 5-10 tahun banyak pekerja ter-PHK, gimana nasibnya. Jadi manfaatnya kapan bisa dirasakan," sambungnya.
4. Dinilai Lebih Baik Perbaiki Program Rumah Subsidi
Nanang memaparkan rumah subsidi dirasa sulit diakses para buruh sebab upah dipotong 60 persen, membuat banyak buruh ditolak mengakses rumah subsidi karena angsuran tak cukup.
Selain itu, harga rumah subsidi pun dirasa tak lagi terjangkau bagi buruh berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, ia mengusulkan kepada pemerintah untuk lebih fokus memperbaiki program rumah subsidi.
"Di samping cara mengaksesnya susah, rumah subsidi harganya naik gila-gilaan. Awalnya dirintis dulu Rp 100 juta, baru 5 tahunan, sekarang Rp 160 juta. Sekarang sama aja, nggak ada rumah subsidi yang mampu diakses," paparnya.
(sip/sip)