Kisah Perajin Canting di Pekalongan yang Sempat Mati Suri gegara Pedemi

Kisah Perajin Canting di Pekalongan yang Sempat Mati Suri gegara Pedemi

Robby Bernardi - detikJateng
Selasa, 27 Sep 2022 16:09 WIB
Produksi canting di rumah Amat Catari (67), salah satu perajin canting tertua di Kota Pekalongan. Foto diambil Selasa (27/9/2022).
Produksi canting di rumah Amat Catari (67), salah satu perajin canting tertua di Kota Pekalongan. Foto diambil Selasa (27/9/2022). Foto: Robby Bernardi/detikJateng
Pekalongan -

Batik tulis tidak bisa dilepaskan dengan canting. Perajin canting salah satunya bisa ditemui di Kota Pekalongan, Jawa Tengah.

Adalah Amat Catari (67), salah satu perajin canting tertua di Pekalongan. Ditemui di rumahnya di Kelurahan Kuripan, Kertoharjo, yang juga bengkel cantingnya, Amat menceritakan nasib perajin canting yang sejak dulu bergantung dengan industri batik tulis. Semakin banyak yang memproduksi batik tulis, semakin banyak pula kebutuhan canting.

Produksi rumahan canting ini telah ia lakoni sejak tahun 1968. Bahkan, sejumlah murid-muridnya kini telah memiliki industri rumahan canting sendiri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Mulai buat canting ini sejak tahun 68, sampai sekarang. Saya di umur tua ini ya sehari paling-paling bisa membuat 150-an canting, dibantu anak yang masih pelatihan," kata Amat Catari, saat ditemui di bengkel cantingnya yang berada di belakang rumahnya, Selasa (27/9/2022).

Dalam produksi, ia tidak sendirian. Amat Catari dibantu anak dan istri, serta anak-anak muda yang ingin belajar membuat canting. Amat Catari khusus membuat kepala canting dan jarum kepala canting, sedangkan istrinya yakni Nur Khodroh (55) membuat gagang atau garan canting yang terbuat dari tanaman gelonggong.

ADVERTISEMENT

"Ya ada bagian-bagian sendiri. Istri khusus untuk garan (pegangan canting), kalau saya cantingnya. Anak kadang bantu buat canting, yang jelas anak bantu jualan lewat HP," jelasnya.

Produksi canting di rumah Amat Catari (67), salah satu perajin canting tertua di Kota Pekalongan. Foto diambil Selasa (27/9/2022).Produksi canting di rumah Amat Catari (67), salah satu perajin canting tertua di Kota Pekalongan. Foto diambil Selasa (27/9/2022). Foto: Robby Bernardi/detikJateng

Ia sendiri memang dikenal sebagai sesepuh canting di Kota Pekalongan.

"Soal sesepuh ya bisa, memang saya yang tua. Sisanya di bawah saya (mantan murid), masih muda-muda juga sih," ucapnya.

Usaha rumahan canting ini dibuat tidak saja untuk memenuhi kebutuhan canting di Kota Pekalongan saja, namun juga dipasarkan di kota-kota yang juga dikenal dengan batiknya, seperti Cirebon, Lasem, Solo, Madura, bahkan hingga ke Sumatra dan Kalimantan.

Halaman selanjutnya, terdampak pandemi...

Mati Suri gegara Pandemi

Amat Catari menghabiskan waktunya di belakang rumah sejak pagi hingga sore hari untuk membuat canting batik tulis. Ia menceritakan, usahanya sempat lesu selama dua tahun sejak ada pandemi Corona. Saat itu, industri batik tulis menurun, permintaan canting pun ikut merosot bahkan sepi.

"Pernah usaha ini lesu, berhenti. Saya tetap produksi habiskan tembaga saja. Usaha ini tergantung usah batiknya. Tinggal ramai-sepinya batik itu, tinggal itu. Kalau ada keseimbangan penjualan atau batik agak ramai sedikit ini ya nanti bisa sesuai harapan," ucapnya.

"Tapi kan batik tidak tentu, kadang-kadang agak kendor, agak sepi. Ya pas Corona dua tahun itu turun, sempat bikin tak banyak, tidak ada permintaan. Lha gimana daripada tidak kerja," ungkapnya.

Produksi canting di rumah Amat Catari (67), salah satu perajin canting tertua di Kota Pekalongan. Foto diambil Selasa (27/9/2022).Amat Catari (67), salah satu perajin canting di Kota Pekalongan. Foto diambil Selasa (27/9/2022). Foto: Robby Bernardi/detikJateng

Saat pandemi Corona, menurut Amat Catari, di saat orang dilarang berkerumun berdampak pada industri batik yang tidak produksi. Produksi canting juga ikut terhenti.

"Kan kalau buat batik, kan berkerumun ya. Satu kompor untuk empat orang, saling bergerombol. Saat Corona kan tidak boleh gerombol-gerombol, jadi terhenti batik tulisnya. Kita juga tidak ada permintaan," katanya.

Ia bersyukur pandemi Corona telah melandai. Saat ini permintaan canting buatannya berangsur normal kembali.

"Alhamdulillah, tidak lama, kembali lagi produksi. Tapi BBM juga naik, semua bahan-bahan tembaga ikut naik juga. Kita diuji lagi," imbuhnya.

Pemasaran

Penjualan canting buatannya dipasarkan oleh anaknya yang juga guru SMP, yakni Poppy Widora. Di tangan Poppy inilah pemasaran canting bisa merambah ke sejumlah daerah.

"Ya kalau pasar kita ke pasar online dan kita juga droping ke toko-toko di wilayah Batang, Pekalongan, hingga Pemalang," kata Poppy.

Dirinya memasarkan melalui marketplace maupun aplikasi lainnya melalui ponsel.

"Untuk pemasaran online, saat ini seluruh Indonesia bukan hanya di Pekalongan saja, namun di Pulau Jawa, Sumatra, dan Kalimantan," jelas Poppy.

Untuk harga canting bervariasi, dari canting ukuran nol hingga ukuran dua belas, dijual persatuan Rp 4 ribu. Sedangkan canting jenis pegon, canting ukuran besar dijual Rp 8 ribu per buah.

Selain memasarkan, Poppy masih berupaya terus belajar membuat canting sebagai generasi penerus orang tuanya.

"Bisa sih buat canting. Terkadang bantu Bapak kalau pesanan banyak. Kakak saya juga buat canting yang ngajarin Bapak, di rumahnya Tirto," imbuhnya.

Halaman 2 dari 2
(rih/ahr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads