Warga Kampung Miliarder Nganggur, Pakar UGM Nilai Perlu Program Alih Profesi

Warga Kampung Miliarder Nganggur, Pakar UGM Nilai Perlu Program Alih Profesi

Bayu Ardi Isnanto - detikJateng
Rabu, 26 Jan 2022 18:01 WIB
Uang ratusan juta bahkan miliaran rupiah kini dikantongi warga Klaten yang terdampak proyek Tol Yogya-Solo. Uang itu pun digunakan untuk bangun rumah baru.
Jadi Miliarder Dadakan, Warga Klaten Ramai-ramai Bangun Rumah Baru. (Foto: Achmad Syauqi/detikJateng)
Jogja -

Sejumlah warga desa di Sumurgeneng, Kecamatan Jenu, Tuban, Jawa Timur mendadak menjadi miliarder usai mendapat ganti rugi dari penjualan tanah dan lahan untuk proyek pembangunan kilang minyak Pertamina pada Februari tahun lalu. Meski awalnya untung, kini banyak dari mereka mengalami kesulitan karena tidak memiliki sumber penghasilan.

Pakar Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Hempri Suyatna, mengatakan warga terdampak sebetulnya membutuhkan pendampingan alih profesi. Sebab mereka seakan dipaksa beralih dari profesi sebagai petani.

"Mereka umumnya memborong membeli mobil dan kebutuhan mewah lainnya. Namun setelah satu tahun berlalu, berapa warga tersebut jatuh miskin karena tidak ada lagi sumber penghasilan yang mereka bisa dapatkan sebagaimana saat mereka bisa menggarap lahan pertaniannya," kata Hempri dalam rilis yang diterima detikJateng, Rabu (26/1/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hempri menilai fenomena munculnya warga miliarder yang tiba-tiba menjadi jatuh miskin menunjukkan adanya fenomena culture shock atau gegar budaya yang tidak dapat dikelola dengan baik. Menurutnya, masyarakat tidak siap menghadapi proses perubahan yang terjadi dan sayangnya tidak ada pendampingan dari pemerintah atau perusahaan dalam mengelola uang ganti rugi tersebut.

"Budaya konsumtif dan budaya instan yang ada di masyarakat seringkali menyebabkan masyarakat tidak berpikir untuk jangka panjang," ujar dia.

ADVERTISEMENT

Hempri khawatir peristiwa serupa tidak hanya terjadi di Tuban, melainkan daerah-daerah lain yang mengalami ganti rugi lahan sebagai dampak dari proyek pembangunan. Selama ini, banyak kasus yang terjadi kompensasi ganti rugi lahan dianggap cukup selesai ketika masyarakat sudah menerima uang sebagai kompensasi tersebut.

"Tidak ada arahan dari pemerintah misalnya terkait penggunaan dana kompensasi tersebut. Akibatnya banyak masyarakat yang kemudian menggunakan dana tersebut untuk kepentingan konsumtif membeli mobil, rumah dan sebagainya. Kalau pun membuka usaha, seringkali kecenderungan hampir sama seperti membuka warung kelontong atau usaha dagang. Padahal, masyarakat tidak memiliki bekal untuk itu sehingga mereka mengalami kegagalan di dalam merintis usaha," kata dia.

Untuk mengantisipasi terulangnya kasus warga Sumurgeneng di Tuban ini, Hempri berpendapat sebaiknya perusahaan membantu masyarakat terdampak ini untuk tetap bisa bertahan. Bisa saja dilakukan dengan pemberian keterampilan yang dapat mendorong masyarakat untuk merintis UMKM.

Kasus di Tuban ini seharusnya bisa menjadi pelajaran untuk ke depannya. Sebab kasus-kasus pembebasan lahan baik yang dilakukan pemerintah maupun perusahaan harus memperhatikan dampak jangka panjang.

"Jangan sampai proyek-proyek pembangunan justru memarginalkan masyarakat kecil dengan munculnya masyarakat miskin dan pengangguran," katanya.

Selain itu, pemerintah maupun perusahaan dapat memberikan pendampingan manajemen keuangan dan membentuk mental masyarakat untuk berpikir jangka panjang. Bahkan kompensasi-kompensasi yang muncul mungkin tidak sekedar uang, akan tetapi program-program alih profesi, memberikan pelatihan dan keterampilan masyarakat dapat dilakukan untuk itu.

"Perusahaan dapat mengembangkan program-program tersebut melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) mereka untuk mengembangkan program-program alih profesi ini," pungkasnya.




(bai/sip)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads