Walhi Jateng Soroti Penanganan Banjir Semarang: Curah Hujan Tak Ekstrem

Walhi Jateng Soroti Penanganan Banjir Semarang: Curah Hujan Tak Ekstrem

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Sabtu, 01 Nov 2025 11:58 WIB
Banjir di Jalan Kaligawe Raya, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang, Jumat (31/10/2025).
Banjir di Jalan Kaligawe Raya, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang, Jumat (31/10/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng.
Semarang -

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah (Jateng) menyebut curah hujan di Kota Semarang saat ini tergolong ringan, belum masuk kategori ekstrem. Namun, banjir yang terjadi sudah parah dan tak kunjung surut.

Hal ini diungkap Staf Advokasi dan Pengorganisiran Rakyat Walhi Jateng, Dera. Ia mengatakan, berdasarkan catatan Walhi Jateng, banjir tahun ini tak tergolong ekstrem jika dibandingkan hujan di tahun sebelumnya.

"Dari tahun ke tahun, sejak tahun 2021 yang banjir paling besar sampai Simpang Lima, hujan hari ini bukan sesuatu yang ekstrem. Jangan-jangan kita kaget karena Semarang panas, tiba-tiba hujan yang menyebabkan banjir, dianggap sebagai sesuatu yang ekstrem," kata Dera saat dihubungi, Sabtu (1/11/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, Oktober memang sudah masuk awa musim hujan. Berdasarkan catatan, curah hujan cenderung tinggi di Desember-Januari.

"Catatan kami curah hujan tinggi, intensitasnya rutin setiap hari sejak pagi-sore itu terjadi di bulan Desember dan Januari. Ini juga kritik, pemerintah kita selalu mewajarkan kalau hujan pasti banjir," ujarnya.

ADVERTISEMENT


Menurut catatan Walhi Jateng yang dipadankan dengan catatan BMKG Jateng, kata dia, curah hujan di Kota Semarang hampir mirip dengan wilayah di sekitarnya. Mulai dari Kabupaten Semarang, Kendal, Demak, Grobogan, hingga Madiun.

"Madiun lebih dulu hujan daripada Semarang. Jika curah hujan disebut sebagai penyebab, kenapa Madiun tidak banjir? Itu jadi persoalan. Kenapa di kabupaten lain tidak mengalami banjir sementara curah hujan dan intensitasnya sama?," kata Dera.

Menurutnya, upaya Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) belum menyentuh akar masalah banjir menahun di Kota Semarang.

"Mengeluarkan anggaran dan lain-lain tapi tidak berdampak signifikan. Karena November, Desember kita akan menghadapi situasi hujan sampai Januari-April," tuturnya.

Kolam retensi dan sodetan juga dinilai sebagai upaya teknis yang tak terlalu berpengaruh karena banjir di Kaligawe juga tak kunjung surut selama lebih dari sepekan.

"Kemarin kami ngobrol dengan warga, kolam retensi dan sodetan itu tidak berpengaruh hari ini dan dia juga tidak mengatasi banjir karena mereka jauh lebih dulu banjirnya, sudah 1 minggu lebih. Dia tidak berimbas banyak, bahkan banjir itu justru tambah tinggi ketika hujan ada," tuturnya.

"Bukan penyelesaian untuk banjir, dia bersifat sementara dan pendekatan teknis yang menghabiskan anggaran, tapi kalau dia ditempatkan di situasi banjir ternyata tidak memberikan implikasi yang serius," lanjutnya.

Berdasarkan catatan Walhi Jateng 1 tahun terakhir, sekalipun ada kolam retensi, penanganan banjir di Kota Semarang tidak berjalan dengan signifikan. Justru memperparah situasi jika akhirnya tak difungsikan dan menyebabkan banjir.

Lebih lanjut ia menilai, pembangunan Tol Tanggul Laut yang tengah dibangun justru bisa menimbulkan masalah baru. Jika diadaptasi dari Belanda yang berhasil menyelesaikan rob, kata dia, lanskap Indonesia tak bisa disamakan dengan Belanda.

"Belanda adalah kawasan yang kecil dan tanggul itu melingkupi seluruh kawasan Belanda, sistem drainase run off dia berjalan dengan sistemik, sistem keluar air masuk. Tapi kalau kita terapkan di Indonesia, sangat tidak mungkin. Kami menyebut imajiner," tegasnya.

"Karena Tanggul Laut hanya melingkupi wilayah Pesisir Utara yang tidak tahan lama hanya berjangka 10-15 tahun berdasarkan masterplan-nya, justru akan menimbulkan persoalan baru di masa depan," tambahnya.

Menurutnya, solusi paling signifikan justru penanaman mangrove, meski membutuhkan waktu yang tak lama. Menurutnya, mangrove bisa menjadi solusi berkelanjutan untuk mencegah banjir.

"Karena menanam mangrove itu berkelanjutan dan jangka panjang untuk menangani wilayah pesisir, dibandingkan dengan tol yang kemudian melibas kawasan mangrove," ujarnya.

"Contoh, mengapa daerah Mangunrejo banjirnya tidak separah Tambakrejo? Karena ekosistem mangrovenya lebih baik dibandingkan daerah lain," sambungnya.

Selain itu, ia mendesak pengoptimalan kebijakan penanggulangan bencana di wilayah pesisir dan pengendalian ekosistem, serta pengadaan kebijakan perlindungan pesisir.

"Jateng punya kebijakan soal kawasan ekosistem esensial mangrove, tetapi tidak berfungsi dengan baik ketika berhadapan dengan proyek strategis nasional yang memerlukan kawasan pesisir," ujarnya.

"Kedua, kami mendesak adanya kebijakan kebencanaan atau kebijakan perlindungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Jateng, nggak hanya Semarang dan Demak, termasuk pulau kecil ada di Karimunjawa," imbuhnya.

Melihat kondisi banjir di Kota Semarang yang tak kunjung surut, Walhi pun mengeluarkan lima rekomendasi bagi pemerintah, di antaranya:

  1. Meninjau ulang kebijakan perencanaan tata ruang daerah yang berkaitan dengan corak ekonomi yang ekstraktif di kawasan hulu
  2. Fokus penanggulangan bencana adalah dari akar dengan membatasi dan menutup berbagai macam proyek dan izin usaha yang merusak kawasan hulu
  3. Menjalankan dan memulihkan fungsi kawasan hulu dan daerah aliran sungai sebagai daerah resapan dan lindung
  4. Membentuk kebijakan tentang kebencanaan yang berfokus kepada region, dengan melihat kesalingan hubungan satu daerah dengan daerah lain
  5. Menghentikan kebijakan teknikal sebagai bagian dari mitigasi kebencanaan.




(apl/apl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads