Lembaga Perlindungan dan Pemberdayaan Konsumen (LP2K) Jawa Tengah (Jateng) mendesak pemerintah menghentikan sementara operasional seluruh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang belum memiliki Sertifikasi Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS).
Hal ini disampaikan Ketua LP2K, Abdun Mufid. Ia menilai, langkah tersebut penting setelah maraknya kasus keracunan massal siswa penerima program Makan Bergizi Gratis (MBG).
"Program ini grusa-grusu (buru-buru). Jadi segala sesuatunya belum disiapkan dengan baik, termasuk standar pengelolanya. Akhirnya yang penting jalan. Hubungannya dengan nyawa manusia kok yang penting jalan. Ini kan sudah terbukti banyak yang dibangun tapi belum miliki sertifikasi," kata Abdun saat dihubungi detikJateng, Kamis (2/10/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, pemerintah seharusnya menyiapkan proses training, standarisasi, dan sertifikasi sebelum melibatkan SPPG dalam program MBG. Tanpa itu, risiko keracunan akan terus berulang karena penyedia tidak memenuhi standar Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB).
"Saran saya sederhana, mereka yang belum punya standardisasi sementara hentikan dulu. Lakukan proses standardisasi, dimulai dengan training, sertifikasi, baru boleh dijalankan lagi. Ibarat angkot kan harus memiliki KIR, kalau nggak punya nggak boleh," tegasnya.
Abdun menegaskan, kasus keracunan MBG tidak bisa dianggap sepele. Hingga kini, ribuan siswa di berbagai daerah tercatat mengalami gejala keracunan setelah menyantap makanan dari program tersebut.
"Kalau tidak segera dibenahi, angka kasus bisa terus naik. Pemerintah harus berani menghentikan sementara, lakukan evaluasi total, baru jalankan lagi dengan standar yang benar," tuturnya
Abdun juga mengatakan, para siswa yang terdampak berhak disebut sebagai korban dan bisa menuntut haknya secara hukum.
"Walaupun namanya gratis, sebenarnya tidak gratis karena dibiayai pemerintah. Anak-anak tetap konsumen, dan salah satu hak konsumen adalah mendapat jaminan keamanan dan keselamatan. Kalau makanan yang dikonsumsi tercemar lalu menimbulkan keracunan, itu jelas pelanggaran," tegasnya.
Pengelola SPPG disebut bisa diminta pertanggungjawaban secara hukum. Mulai dari sanksi administratif berupa penghentian operasional, hingga gugatan perdata atas kerugian yang dialami siswa dan orang tua.
"Bahkan tidak menutup kemungkinan ada unsur pidana jika terbukti lalai atau melanggar aturan perlindungan konsumen," ujarnya.
"Orang tua bisa menuntut ganti rugi melalui gugatan perdata. Kalau ada unsur perbuatan melawan hukum, itu bisa diproses. Jangan anggap remeh karena ini menyangkut keselamatan ribuan anak," tambahnya.
Lebih lanjut, ia menuturkan, keterbukaan SPPG juga menjadi penting agar sekolah dan wali murid yakin makanan yang dikonsumsi siswa aman. SPPG diminta bisa lebih terbuka kepada publik, khususnya para pihak sekolah.
"SPPG jangan tertutup. Harusnya sekolah, komite, atau perwakilan orang tua diberi kesempatan melihat langsung dapur pengolahan. Itu hak konsumen karena anak-anaklah yang mengonsumsi," ungkapnya.
Menurutnya, transparansi akan memperkuat kepercayaan publik sekaligus mendorong SPPG menjaga higienitas. Ia mencontohkan, sekolah bisa diajak melihat bagaimana proses memasak, distribusi, hingga sanitasi dapur.
"Minimal ada representatif sekolah atau orang tua yang ikut meninjau. Jadi bukan sekadar menerima makanan begitu saja tanpa tahu proses di baliknya," ujarnya.
"Kalau ada wali murid atau sekolah yang menolak MBG, jangan dipaksakan. Itu hak mereka demi kesehatan anak-anak," sambungnya.
(aku/dil)