Puluhan Siswa SD di Ungaran Diduga Keracunan Puding Basi MBG

Puluhan Siswa SD di Ungaran Diduga Keracunan Puding Basi MBG

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Kamis, 02 Okt 2025 11:37 WIB
Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Semarang, Joko Sriyono mencoba membaui puding menu MBG yang diduga basi di SDN 01 Ungaran, Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang, Selasa (30/9/2025).
Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Semarang, Joko Sriyono mencoba membaui puding menu MBG yang diduga basi di SDN 01 Ungaran, Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang, Selasa (30/9/2025). Foto: Dok. Joko Sriyono.
Semarang -

Puluhan siswa SDN 01 Ungaran, Kabupaten Semarang, mengalami gejala keracunan usai menyantap makanan bergizi gratis (MBG) di sekolah. Dugaan sementara penyebabnya berasal dari puding yang sudah basi.

Hal ini disampaikan Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Semarang, Joko Sriyono, yang sudah sempat mengecek ke sekolah, Selasa (30/9). Ia mengaku telah melihat puding berwarna hijau yang sebelumnya sudah dimakan puluhan siswa kelas 4 SDN 01 Ungaran.

"Dugaan sementara waktu itu yang terjadi di SDN 01 Ungaran itu dari pudingnya. Dari puding itu kelihatannya sudah basi, karena saya lihat baunya juga sudah asam. Itu juga yang diambil sampel pemeriksaan di lab," kata Joko saat dihubungi detikJateng, Kamis (2/10/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Joko menjelaskan, para siswa mengonsumsi puding tersebut selepas pelajaran olahraga. Tak lama kemudian, mereka mengalami gejala mual dan pusing.

"Dampaknya anak-anak itu pusing dan mual-mual. Ada tiga yang sampai dilarikan ke rumah sakit karena muntahnya lebih banyak, bahkan ada satu yang sempat sesak napas," ujarnya.

ADVERTISEMENT

Menurut Joko, selain puding, menu MBG yang dibagikan saat itu juga ada nasi, tahu, rendang, lalapan, dan sayur sawi. Namun, gejala dialami siswa setelah menyantap puding.

"Itu puding kan dibagikan dari dapur untuk semua. Tapi yang makan duluan anak-anak yang habis olahraga itu, yang lain nggak makan. Setelah itu banyak yang nggak dimakan pas saya di sekolahan itu," kata dia.

"Kalau sudah dimakan semua ya banyak (yang bergejala). Itu kemungkinan panas terus ditutup. Pudingnya itu bau dan berbusa," lanjut Joko.

Ia pun menyoroti pengelolaan dapur penyedia MBG yang dinilai belum memperhatikan standar kebersihan maupun ahli gizi. Apalagi, tiap SPPG mengelola ribuan porsi sekaligus setiap hari.

"Kalau satu dapur sampai mengelola 3-4 ribu porsi, itu tidak mampu. Masaknya bisa dari jam 01.00 WIB malam untuk dibagikan pagi hari, akhirnya basi. Puding itu seharusnya disimpan di bawah 5 derajat agar layak makan, sementara makanan matang harus dijaga di suhu 50 derajat ke atas," jelasnya.

Joko menegaskan, pihaknya mendorong evaluasi besar-besaran terhadap dapur MBG, baik dari sisi tenaga ahli gizi maupun kebersihan proses memasak. Ia juga menilai wajar jika ada orang tua yang kini lebih memilih membawakan bekal anak karena khawatir kasus serupa terulang.

"Jelas itu barang basi, bukan fresh. Karena dimasak malam hari untuk dibagikan pagi. Banyak orang tua akhirnya memilih bawakan bekal sendiri supaya lebih aman," katanya.

Joko menyebut, Dewan Pendidikan Kabupaten Semarang dalam waktu dekat akan memanggil para ketua komite sekolah untuk membahas evaluasi MBG, termasuk jika ada sekolah atau orang tua yang menolak program tersebut.

"Sisa makanan yang anak-anak tidak makan itu sebaiknya tidak boleh dibawa pulang, biar jadi evaluasi dapur anak anak ini ada yang alergi, kurang enak, tidak suka," ujarnya.

"Karena ini banyak makanan yang tidak habis, anak-anak bawa tempat sendiri, kalau tidak makan dibawa pulang. Berisiko jika dibawa pulang, karena sampai rumah, siang itu bisa basi juga, bahkan tambah basi," lanjutnya.

Dinkes Angkat Bicara

Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Semarang, Dwi Saiful Noor Hidayat, menyebut masih menyelidiki kasus tersebut. Ia menduga, gejala itu lebih mengarah ke faktor psikologis ketimbang keracunan makanan.

"Baru diambil sampel, kita belum bisa menyimpulkan itu keracunan atau tidak. Dari 4.000 masakan yang disajikan, hanya 20 siswa yang merasakan gejala, dan itu pun satu kelas. Jadi belum bisa dipastikan dari dapur atau dari mana," kata Dwi saat dihubungi detikJateng.

"Kalau saya katakan itu lebih ke dampak psikologis. Habis makan yang satu bilang pusing, namanya anak-anak kecil (bilang) 'jangan-jangan habis makan', 'aku yo mumet,' mungkin itu yang dirasakan mereka," jelasnya.

Baca selengkapnya di halaman berikutnya....

Dwi menyebut tim medis yang datang ke sekolah langsung menangani siswa, dan kondisi mereka dinyatakan baik. Para siswa disebut ditangani di UKS Sekolah.

"Setelah diperiksa ternyata nggak apa-apa. Hari itu juga langsung pulang ke rumah masing-masing," tegasnya.

Meski begitu, pihaknya tetap menunggu hasil pemeriksaan laboratorium untuk memastikan penyebab pasti kejadian ini. Ia menambahkan, hingga saat ini tidak ada laporan kasus serupa di sekolah lain di Kabupaten Semarang.

Dwi juga menyebut saat ini terdapat 28 dapur MBG di Kabupaten Semarang, masing-masing melayani sekitar 3.000 porsi makanan setiap harinya. Namun, belum ada dari mereka yang memiliki sertifikat laik higiene sanitasi (SLHS).

"Kalau yang sertifikasi sekarang baru pengajuan semua, ada sekitar 28 SPPG," tuturnya.

Sebagai langkah antisipasi, Dwi menegaskan Dinkes akan memperketat pengawasan dapur penyedia MBG. Setiap dapur diwajibkan memiliki surat laik sehat, serta memenuhi standar higiene dan sanitasi.

"Mohon untuk SPPG hati-hati, mulai dari pemilihan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan, ketika bahan itu diracik, ketika memasak, ketika penyajian semua harus hati-hati. Lebih diperhatikan lagi termasuk dalam pencucian alat, transportasi, dan sebagainya," tandasnya.

Halaman 2 dari 2
(apl/ahr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads