Komnas HAM Pantau Proses Visum Remaja Diduga Salah Tangkap di Magelang

Komnas HAM Pantau Proses Visum Remaja Diduga Salah Tangkap di Magelang

Eko Susanto - detikJateng
Jumat, 26 Sep 2025 18:14 WIB
Ketua Komnas HAM Anis Hidayah di RSUD Tidar Kota Magelang, Jumat (26/9/2025).
Ketua Komnas HAM Anis Hidayah di RSUD Tidar Kota Magelang, Jumat (26/9/2025). Foto: Eko Susanto/detikJateng
Magelang -

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) turun tangan menindaklanjuti aduan LBH Jogja terkait dugaan salah tangkap terhadap anak, DRP (15) saat demo ricuh akhir Agustus lalu di Magelang. Selain itu, Komnas HAM juga berencana bertemu dengan pihak Polres Magelang Kota.

Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, datang langsung memantau proses visum yang berlangsung di RSUD Tidar Kota Magelang. Visum untuk RDP yang diantarkan ibu dengan didampingi dari LBH Jogja.

"Kita turun untuk menindaklanjuti aduan yang disampaikan oleh LBH Jogja terkait dengan dugaan adanya penyiksaan oleh aparat terhadap salah satu korban salah tangkap," kata Anis kepada wartawan di RSUD Tidar Kota Magelang, Jumat (26/9/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi kami hari ini menindaklanjuti dengan memantau proses visum yang dilakukan oleh Polda (Polda Jateng) di rumah sakit dengan didampingi teman-teman LBH Jogja. Setelah ini, kami akan mendalami kepada korban dan keluarga dan juga LBH Jogja terkait dengan peristiwanya," sambung Anis.

ADVERTISEMENT

Setelah mendampingi visum, kata Anis, akan ke keluarga RDP. Kemudian, nantinya bertemu dengan pihak Polres Magelang Kota.

"Direncanakan begitu (bertemu Polres Magelang Kota). Jadi akan ke keluarga dulu, baru kemudian sedang dikoordinasikan untuk bisa ketemu dengan pihak polres," imbuhnya.

Perihal tindak lanjut dari aduan tersebut, katanya, Komnas HAM akan mengumpulkan sejumlah informasi, fakta dari berbagai pihak.

"Banyak pihak yang kami periksa untuk memastikan benar, tidaknya terjadi dugaan penyiksaan. Lalu kemudian, kita rekomendasikan nanti kepada aparat penegak hukum berdasarkan fakta-fakta yang nanti akan dihasilkan oleh Komnas HAM termasuk teman-teman LBH sudah mendampingi beberapa waktu. Jadi, informasi dari teman-teman LBH nanti juga akan membantu Komnas Ham untuk mengumpulkan fakta-fakta itu," bebernya.

Selain di Magelang, pihaknya juga menerima aduan serupa dari daerah lain. Komnas HAM pun melakukan pemantauan secara proaktif di daeah yang terjadi aksi dan kerusuhan terjadi pada Agustus dan September.

"Sebenarnya kami lebih banyak melakukan pemantauan proaktif. Karena kami langsung menjangkau ke beberapa wilayah, setidaknya ke sekitar 14 provinsi dan 22 kabupaten/kota selama aksi dan kerusuhan itu berlangsung. Jadi kalau jumlahnya aduannya nanti kami cek kembali, tetapi Komnas HAM lebih banyak melakukan penjangkauan secara proaktif," ujarnya.

Sementara itu, penasihat hukum keluarga korban dari LBH Jogja, Royan Juliazka Chandrajaya, menambahkan visum merupakan bagian dari proses hukum yang dilakukan.

"Karena kembali lagi bahwa praktik seperti ini (penyiksaan dan salah tangkap) seolah-olah menjadi hal lumrah di tubuh kepolisian. Kami mendorong bagaimana kasus ini menjadi ruang untuk memutus emunitas di kepolisian," kata Royan.

"Polisi jangan merasa bahwa karena tidak ada yang dihukum sehingga perbuatan ini bisa diulang. Kami mengecam keras perbuatan ini, termasuk pernyataan Kapolres Magelang Kota beberapa waktu lalu yang mengatakan bahwa tidak ada kekerasan di aksi demonstrasi," ujarnya.

Perihal korban salah tangkap lainnya, katanya, masih mendalaminya.

"Ada beberapa orangtua yang sudah mengadu, menceritakan bahwa anaknya merupakan korban salah tangkap. Tapi, untuk melanjutkan secara hukum mereka masih mempertimbangkan karena ada tekanan yang besar dari kepolisian," tuturnya.

Selengkapnya simak halaman berikutnya:

Sebagaimana pernah diberitakan, Polda Jateng mendapatkan laporan terkait dugaan salah tangkap remaja 15 tahun di Kota Magelang saat aksi unjuk rasa, Jumat (29/8).

Kabid Humas Polda Jateng, Artanto, menegaskan pihaknya berjanji bakal transparan dalam menindaklanjuti hal tersebut.

"Monggo silakan lapor, nanti kewajiban dari pihak kepolisian selaku penyidik untuk membuktikan laporan tersebut, bekerja sama dengan pelapor," kata Artanto di Mapolda Jateng, Selasa (16/9).

Ia pun menegaskan pihaknya berjanji bakal menindaklanjuti laporan itu dengan transparan dan profesional.

"Silakan buat laporan atau aduan bisa ke Propam atau Direskrimum, nanti surat aduan itu bisa jadi bahan penyelidikan awal. Nanti akan ditindaklanjuti secara transparan dan profesional," pungkasnya.

Laporan yang dimaksud dilayangkan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jogja bersama orang tua DRP (15). Perkaranya dugaan salah tangkap, penyiksaan, hingga penyebaran data pribadi anak ke Polda Jawa Tengah dan ditujukan kepada Kapolres Magelang Kota dan Kasat Reskrim Polres Magelang Kota.

Penasihat hukum keluarga korban, Royan Juliazka Chandrajaya, mengatakan DRP ditangkap saat terjadi kerusuhan di depan Polres Magelang Kota pada 29 Agustus lalu. Padahal, kata dia, remaja itu tidak ikut aksi.

"DRP hanya kebetulan lewat di sekitar lokasi kejadian, lalu ditangkap secara sewenang-wenang. Lehernya dipiting, dibawa ke kantor Polres Magelang," kata Royan di Mapolda Jateng, Kecamatan Semarang Selatan, Selasa (16/9/2025).

"Di sana DRP mengalami serangkaian tindak penyiksaan seperti ditampar, ditendang, kepalanya dipukul dan dicambuk. Hanya untuk dipaksa mengaku bahwa telah terlibat dalam aksi perusakan di Polres Magelang Kota," lanjutnya.

Menurut Royan, korban sempat diinapkan semalam di Polres tanpa alas tidur, tidak diberi makan, dan dicampur dengan tahanan dewasa. Keesokan harinya, DRP kembali mengalami kekerasan fisik saat dikumpulkan bersama tahanan lain.

"Keesokan harinya DRP dikumpulkan lagi bersama tahanan lain, berbaris, kembali mengalami kekerasan dan pemaksaan, ditampar, dipukul, ditendang, dicambuk menggunakan selang di dada dan punggung, dihantam dengan lutut oleh polisi tanpa alasan yang jelas," urainya.

Masalah semakin berat ketika data pribadi korban, mulai dari nama lengkap, alamat, asal sekolah, hingga foto, tersebar di grup WhatsApp warga. Data itu disertai cap sebagai 'pelaku perusakan'.

"Foto, nama lengkap, tanggal lahir, alamat, asal sekolah. Itu lengkap sekali. Itu merupakan kategori data yang tidak boleh disebar. (Yang nyebar siapa?) Ini kami cari tahu. Terlepas siapapun yang sebar, tapi yang pasti data itu diambil ketika dia dalam Polresta," jelasnya.

Halaman 3 dari 2
(apu/alg)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads