Aliansi petani yang tergabung dalam Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Jawa Tengah (Jateng) menggelar aksi peringatan Hari Tani Nasional (HTN) 2025. Mereka menyoroti perampasan lahan dan menuntut pemerintah menjalankan reforma agraria serta mengembalikan lahan kepada rakyat.
Pantauan detikJateng di Jalan Pahlawan, Kelurahan Mugassari, Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang, terlihat massa membawa berbagai spanduk dan poster berisi tuntutan agar pemerintah segera menjalankan reforma agraria sejati.
Poster itu bertuliskan 'Wujudkan Pasal 33 UUD 1945 dengan Menjalankan Reforma Agraria Sejati', 'Cabut UU Cipta Kerja, Kembali ke UUPA 1960 dan UUD 1945', 'Harga Petani Naik Petani Tetap Rugi' hingga 'Penggusuran Skala Nasional'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa petani juga tampak membawa gabah padi dan mengibarkan bendera organisasi sambil menyuarakan penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat kecil.
Salah satu petani asal Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Sugiyono (54) mengaku datang demi menyuarakan keresahan petani selama ini. Ia menyoroti persoalan pengelolaan Taman Nasional yang justru merugikan masyarakat.
"Selama ini kolaborasi dengan masyarakat tidak berjalan. Justru petani yang dirugikan karena tanaman pangan diganggu kera dari kawasan taman nasional," kata Sugiyono saat ditemui detikJateng di Jalan Pahlawan, Rabu (24/9/2025).
"Padahal dulu lahan itu sudah dikelola nenek moyang kami sebelum diserobot Perhutani dan sekarang dialihkan ke Taman Nasional," lanjutnya.
Koordinator aksi, Purwanto, menambahkan konflik agraria di Jateng semakin mengkhawatirkan dengan masuknya aparat militer ke wilayah pertanian. Menurutnya, hal itu menimbulkan ketakutan di kalangan petani untuk memperjuangkan hak atas tanah.
"Militerisme ini nyata, petani yang menyuarakan haknya sering dihalang-halangi, bahkan dituduh macam-macam. Dulu dicap PKI, sekarang dianggap anti-negara. Padahal yang diperjuangkan hanya tanah mereka sendiri," kata Purwanto.
Aksi Hari Tani di Jalan Pahlawan, Kelurahan Mugassari, Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang, Rabu (24/9/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng |
Ia menambahkan banyak kasus perampasan tanah yang hingga kini tak kunjung selesai. Dia mencontohkan konflik di Rawa Pening, Urut Sewu, Wadas, hingga Kebumen. Pola yang terjadi dinilai sama, yakni tanah petani digusur dengan alasan pembangunan.
"Program-program besar yang mengatasnamakan pembangunan sering kali justru merugikan petani," imbuhnya.
Pihaknya menilai pemerintah perlu segera menyelesaikan konflik agraria sebelum bicara ketahanan pangan.
"Yang kami inginkan bukan sekadar ketahanan pangan, tapi kedaulatan pangan. Itu hanya bisa tercapai kalau tanah kembali ke petani," jelas Purwanto.
Purwanto menilai ketimpangan penguasaan tanah semakin parah. Berdasarkan data satu persen kelompok orang menguasai 58 persen tanah dan kekayaan agraria nasional, sementara 99 persen rakyat harus berebut sisanya. Selain itu, ribuan desa disebut masih tumpang tindih dengan klaim kawasan hutan maupun Hak Guna Usaha (HGU).
Dalam aksi ini, massa mendesak Presiden Prabowo Subianto segera menyusun Rancangan Undang-Undang Reforma Agraria dan membentuk badan khusus yang mengawal langsung pelaksanaannya. Mereka meminta negara berpihak pada petani dengan memberi ruang kebebasan berorganisasi serta mendukung tata kelola produksi hingga distribusi pangan.
"Kalau program reforma agraria dijalankan sungguh-sungguh, petani bisa mandiri tanpa harus bergantung pada pupuk pabrikan atau kebijakan yang merugikan. Negara seharusnya hadir, bukan malah menjadi bagian dari perampasan tanah," tegas Purwanto.
Dalam aksinya, KPA Jateng juga menyampaikan 24 masalah struktural agraria yang selama ini dialami rakyat, mulai dari perampasan tanah, konflik agraria yang tak kunjung selesai, kriminalisasi petani, hingga monopoli lahan oleh korporasi dan BUMN.
Massa pun mengajukan sembilan tuntutan utama, di antaranya:
1. Presiden dan DPR segera menjalankan Reforma Agraria dengan pekerjaan utama: redistribusi tanah kepada rakyat, penyelesaian konflik agraria, dan pengembangan ekonomi-sosial rakyat di kawasan produksi mereka sesuai UUPA 1960, serta membentuk Pansus untuk memonitor progress pelaksanaan Reforma Agraria.
2. Presiden segera mempercepat penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah, setidaknya pada 1,76 juta hektar Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) anggota KPA Jateng, menertibkan dan mendistribusikan tanah terlantar serta tanah yang dimonopoli konglomerat kepada Petani, Buruh Tani, Nelayan, Perempuan, serta pemulihan hak Masyarakat Adat.
3. Presiden segera membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
4. DPR dan Presiden bersama gerakan masyarakat sipil segera menyusun dan mengesahkan RUU Reforma Agraria, mencabut UU Cipta Kerja, dan mengembalikan arah ekonomi-politik-hukum agraria nasional kepada mandat Pasal 33 UUD 1945.
5. Presiden segera memenuhi hak atas perumahan yang layak bagi Petani, Nelayan, Buruh, dan Masyarakat Miskin Kota, serta menjamin pemenuhan hak atas tanah bagi Perempuan.
6. Presiden segera memerintahkan POLRI-TNI untuk menghentikan represifitas di wilayah konflik agraria, membebaskan Petani, Masyarakat Adat, Perempuan, Aktivis, dan Mahasiswa yang dikriminalisasi, serta menarik TNI-POLRI dari program pangan nasional.
7. Presiden segera membekukan Bank Tanah, menghentikan penerbitan izin dan hak konsesi (moratorium) yang menyebabkan konflik agraria, penggusuran, dan kerusakan alam, serta mengembalikan tanah rakyat dalam kerangka Reforma Agraria.
8. Presiden dan DPR RI memprioritaskan APBN/APBD untuk redistribusi tanah, penyelesaian konflik agraria, pembangunan infrastruktur, teknologi, permodalan pertanian, subsidi pupuk, subsidi solar, benih, dan Badan Usaha Milik Petani-Nelayan-Masyarakat Adat.
9. Presiden harus mendukung dan membangun industrialisasi pertanian-perkebunan-perikanan-peternakan-pertambakan yang dimiliki secara gotong royong oleh Petani dan Nelayan dalam Model Ekonomi Kerakyatan Berbasis Reform Agraria.
(ams/apu)












































