Polda Jawa Tengah (Jateng) tengah menggencarkan patroli siber usai aksi demonstrasi ricuh di Kota Semarang. Di sisi lain, tim hukum suara aksi menyebut patroli siber mengancam kebebasan bersuara.
Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Artanto membenarkan bahwa Polda Jateng tengah mengintensifkan patroli siber untuk memantau situasi di media sosial.
"Kalau ada informasi-informasi yang bersifat hasutan, provokasi, kita akan menjadi lebih waspada terhadap informasi tersebut. Polda maupun Polres jajaran akan selalu siaga untuk mengantisipasi hal itu semua," kata Artanto saat dimintai konfirmasi, Rabu (3/9/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Proses patroli siber, kata Artanto, dilakukan dengan monitor dan pendataan di medsos. Polisi kemudian akan memeriksa pemilik akun yang perlu ditindaklanjuti.
"Contohnya 'Bro, Lur, kantor polisi Mapolda kosong, segera diserbu, ini orangnya pada tidur'. Nah, itu sudah provokasi ya. Itu kan mengajak untuk melakukan aksi kekerasan atau penyerangan," ujarnya.
"Tentunya (dicek WhatsApp), namanya penyelidikan kan mendalam sekali. Profiling siapa nama, pekerjaan, alamatnya, kemudian dia memviralkan dari mana, harus diteliti lebih lanjut," sambungnya.
Saat ini, kata Artanto, polisi telah mengidentifikasi beberapa pemilik akun medsos yang diduga memprovokasi. Dit Ressiber Polda Jateng pun akan segera menindak pemilik akun tersebut.
"Kebanyakan TikTok. (Termasuk grup WA?) Ya, semuanya. Semua urusan medsos dari Direktorat Siber melakukan monitoring," ungkapnya.
Tim hukum Suara Aksi pun menyoroti patroli siber yang dilaksanakan. Mereka menyebut ada warga yang ditangkap karena komentar di siaran langsung (live) TikTok dan mengunggah cerita (story) di WhatsApp.
"Ada 1 orang kerja jadi admin bank, tiba-tiba didatangi orang berpakaian hitam-hitam yang diduga intel, tidak membawa surat penahanan atau penangkapan. Hanya membawa dokumen isinya capture komentar dia di live TikTok," kata Tim Hukum Suara Aksi, Tuti Wijaya.
Pekerja bank tersebut, lanjut Tuti, kemudian dibawa ke Dit Ressiber Polda Jateng. Ia menyebut mendapat laporan tersebut dari atasan pekerja itu. Namun, tim hukum belum mengetahui kronologi detailnya.
"Entah apa yang terjadi, kemudian dia dikeluarkan, habis itu sampai sekarang dia wajib lapor," tuturnya.
Kasus serupa juga terjadi pada warga lain yang hanya mengunggah story WhatsApp bercanda soal pemberitahuan aksi ke Polrestabes Semarang.
"Jangankan admin-admin, bahkan yang bercanda pun ada yang ditangkap. Kemarin ada 1 yang lapor, sebenarnya buat postingan bercanda. Kemudian ditangkap Dit Ressiber Polda Jateng," kata perwakilan Tim Hukum Suara Aksi, Kahar Muamalsyah.
"Kemudian sembilan orang dipanggil juga untuk keterangan, namun statusnya sekarang masih sebagai saksi ya belum jelas," sambungnya.
Mereka dituduh menyebarkan berita bohong terkait aksi demonstrasi di Kota Semarang. Kata Kahar, mereka diperiksa sampai 24 jam dan ponselnya pun disita.
Ia pun menegaskan, langkah kepolisian itu berlebihan dan mampu menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat.
"Semua postingan yang ada sangkut paut dengan aksi itu bisa terancam oleh kerja-kerja tentang patroli siber. Jadi kebebasan berekspresi, kebebasan bersuara semakin terancam sekarang," tegasnya.
Tim Hukum pun menilai, ada enam bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan Polda Jateng selama penanganan massa aksi yakni penghalangan akses bantuan hukum dan keluarga, asal tangkap, sweeping secara brutal, menahan lebih dari 1x24 jam, melakukan kekerasan dan penelantaran, hingga perintah wajib lapor tanpa dasar.
Perbuatan itu disebut menebar ketakutan dan menciptakan trauma bagi masyarakat, sehingga Tim Hukum Suara Aksi pun menuntut polisi menghentikan aksi sweeping.
"Institusi kepolisian untuk menghentikan tindakan brutal, menghentikan sweeping, dan penangkapan tanpa dasar," kata Tim Hukum, Ahmad Syamsuddin Arief.
Mereka juga menuntut Polda Jateng mencabut status para tersangka. Diketahui, Polda Jateng telah menetapkan satu orang dewasa dan enam anak di bawah umur sebagai tersangka kerusuhan dalam aksi di Kota Semarang.
"Menuntut Polda Jawa Tengah untuk meminta maaf kepada korban dan orang tua korban penangkapan, juga bertanggung jawab melakukan pemulihan kondisi korban penangkapan," jelasnya.
"Menuntut Komnas HAM, Komnas Perempuan, Kementerian PPA, Komisi Perlindungan Anak dan Ibu, Komisi Nasional Disabilitas, untuk mendorong institusi kepolisian untuk menghentikan tindakan yang sewenang-wenang dan membebaskan massa yang ditangkap," ujarnya.
(apu/dil)