Polda Jawa Tengah (Jateng) menegaskan tak ada korban salah tangkap massa aksi di Kota Semarang. Penangkapan disebut dilakukan tangkap tangan di area demonstrasi.
Hal itu dikatakan Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Artanto. Ia menyebut bisa menepis argumen terkait salah tangkap yang dilakukan polisi di Kota Semarang.
"Jadi orang yang melakukan kegiatan pelanggaran hukum langsung tertangkap tangan oleh anggota yang di lapangan juga, sehingga tertangkap tangannya langsung di depan mata dan kebanyakan itu anak-anak," kata Artanto saat dimintai konfirmasi, Rabu (3/9/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Oleh karena itu imbauan kepada orang tua awasi anaknya betul. Berikan arahan kepada anaknya, jangan sampai anaknya ikut terprovokasi melakukan pelanggaran pidana dengan melakukan anarkis atau rusuh massa," lanjutnya.
Terkait orang-orang yang disebut ditangkap saat tengah makan di warung ataupun tak sedang mengikuti aksi demonstrasi, Artanto menyebut para massa aksi sudah dilacak pihak kepolisian.
"Pada prinsipnya kalau orang setelah melakukan pidana melarikan diri sembunyinya di mana? Bisa di warung, kan sudah diikutin," ujarnya.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Jateng, Kombes Dwi Subagio, juga mengatakan hal serupa. Ia menyebut para korban ditangkap langsung oleh polisi di lapangan.
"Mereka ditangkap oleh petugas yang ada di lapangan dengan berada pada saat kondisi dan di lokasi. Itu yang kami amankan dan kemudian kami melakukan penyelidikan untuk memperkuat," ujarnya.
"Saat ini memang ada tujuh orang tersangka, tetapi proses masih berjalan dan kemungkinan bisa jadi akan ada penambahan-penambahan para tersangka yang lainnya," sambungnya.
Tim Hukum Suara Aksi Ungkap Dugaan Salah Tangkap
Sementara itu, Tim Hukum Suara Aksi, Kahar Muamalsyah menyebut, pihaknya telah membuka posko pengaduan dan bantuan hukum bagi korban penangkapan. Berdasarkan pengaduan, ditemukan banyak orang yang ditangkap Polda Jawa Tengah (Jateng) bukan bagian dari demonstrasi atau salah tangkap.
Beberapa dari mereka yang ditangkap merupakan pelajar, pekerja, hingga perempuan yang tetap ditangkap sehingga merasa trauma.
"Beberapa penangkapan sewenang-wenang ini dilakukan terhadap 3 perempuan yang bukan peserta massa aksi yang saat itu membeli es teh," kata Kahar di Kantor LBH Semarang, Kecamatan Candisari, hari ini.
"Juga terhadap anak pulang sekolah, anak yang main dan melewati area unjuk rasa, orang yang pulang kerja dan pekerja yang istirahat. Bahkan anak yang pulang sekolah tiba-tiba ditangkap," lanjutnya.
Menurut Tim Hukum, penangkapan dilakukan aparat secara brutal. Para pria berpakaian preman disebut melakukan sweeping di jalan-jalan sekitar Polda Jateng meski aksi sudah bubar.
"Setiap ada remaja yang nongkrong atau lewat diberhentikan, bahkan ada yang sampai jatuh dari motor, ada juga yang dipukuli oleh aparat kepolisian yang tidak berseragam," jelasnya.
Tim Hukum juga menemukan korban salah tangkap mengalami dampak serius. Seorang pelajar yang ditahan lebih dari 1x24 jam menunjukkan gejala trauma.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan psikolog, anak ini terlihat linglung, tidak nyambung dan saat ditanyai dia takut salah menjawab karena takut dipukul petugas. Ada dugaan dia mengalami kekerasan saat ditangkap oleh kepolisian," terangnya.
Selain itu, handphone korban salah tangkap banyak yang disita dan belum dikembalikan. Beberapa korban juga dipaksa melakukan wajib lapor tanpa dasar hukum.
"Kewajiban ini tidak berdasar dan menyulitkan korban dan keluarga. Sebagian korban bahkan berasal dari luar kota Semarang. Yang harus menempuh perjalanan cukup jauh ke Polda Jateng," tuturnya.
"Selain itu, anak-anak korban penangkapan juga masih sangat trauma. Hanya bertemu polisi saja takut. Apalagi harus ke Polda Jateng," sambungnya.
Perwakilan Tim Hukum Suara Aksi, Ahmad Syamsuddin Arief menyebut, sejak 29 Agustus hingga 2 September 2025, sekitar 400 orang ditangkap oleh Polda Jateng.
"Dari 400-an massa aksi ini terdiri dari perempuan, kemudian massa aksi, masyarakat sipil, mahasiswa, bahkan juga disabilitas yang ketika prosesnya tidak mendapatkan akses bantuan hukum, dan tidak mendapatkan pendampingan dari profesional terkait dengan disabilitasnya," uraninya.
Arief menegaskan, Tim Hukum Suara Aksi pun menyampaikan beberapa poin tuntutan mereka, menanggapi situasi yang terjadi beberapa hari belakangan.
"Menuntut Komnas HAM, Komnas Perempuan, Kementerian PPA, Komisi Perlindungan Anak dan Ibu, Komisi Nasional Disabilitas, untuk mendorong institusi kepolisian untuk menghentikan tindakan yang sewenang-wenang dan membebaskan massa yang ditangkap," jelasnya.
"Institusi kepolisian untuk menghentikan tindakan brutal, menghentikan sweeping, dan penangkapan tanpa dasar, mencabut status tersangka korban penangkapan tanpa syarat," lanjutnya.
Mereka juga menuntut Polda Jateng bertanggung jawab dan meminta maaf kepada masyarakat yang menjadi korban salah tangkap. Selain itu Polda Jateng juga diharuskan memulihkan korban penangkapan.
"Presiden dan jajarannya untuk segera bertanggung jawab atas kondisi yang terjadi," tuntutnya.
(aku/apu)