Di tengah khidmatnya upacara bendera peringatan HUT ke-80 RI di Gunungpati, Kota Semarang, seorang warga tampak mencuri perhatian karena mengenakan kostum Luffy, tokoh utama dalam anime populer One Piece. Kostum itu disebut jadi simbol perlawanan bagi pemerintahan di momen Agustusan kali ini.
Dialah Wahid (40), warga RW 01 Kelurahan Kandri, Kecamatan Gunungpati yang mengaku sejak lama mengidolakan karakter ciptaan Eiichiro Oda itu. Menurutnya, Luffy bukan hanya pahlawan fiksi, tetapi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan.
Wahid tampak mengikuti upacara Agustusan di Lapangan Desa Kandri yang digelar secara unik menggunakan Bahasa Jawa. Dengan khidmat ia berbaris bersama warga lainnya yang datang mengenakan berbagai kostum ala gelandangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Luffy itu ekspresi dari orang yang sengsara, orang yang ingin keadilan, ingin kejujuran dijunjung setinggi-tingginya," kata Wahid usai mengikuti upacara, Minggu (17/8/2025).
Tak hanya itu, Wahid juga ingin menanamkan pesan perlawanan dalam momen Kemerdekaan kali ini. Ia berharap, hari ini dapat dijadikan momen refleksi para pejabat pemerintahan terhadap berbagai kebijakan yang masih kurang pro terhadap kepentingan publik.
"Ini (kostum One Piece) sebagai simbol perlawanan, untuk mengkritisi pejabat-pejabat yang masih merugikan rakyat. Sekarang masih banyak kebijakan yang mungkin masih kontroversial," lanjutnya.
Wahid menuturkan, kostum yang ia kenakan adalah bentuk ekspresi sekaligus kritik halus terhadap kondisi bangsa. Ia menyinggung kebijakan kontroversial yang belakang tengah ramai jadi perbincangan karena dianggap merugikan rakyat kecil, yakni soal kenaikan pajak daerah.
"Di tempat saya juga kemarin juga ujug-ujug (tiba-tiba) naik. Kita kan dari warga desa nggak mudeng, kurang memahami, sehingga pesannya untul masyarakat sekarang harus banyak-banyak belajar biar tidak bisa dibodohi," tuturnya.
Bagi Wahid, kemerdekaan seharusnya memberi ruang bagi rakyat untuk hidup layak, bukan menambah beban. Ia pun memberi pesan kepada para pejabat agar tidak korupsi, bukan semata-mata karena takut ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tapi juga karena pesan-pesan Tuhan YME yang senantiasa tertanam dalam hati untuk tidak korupsi.
"Harapan di 17 ini semoga semua rakyat Indonesia tetap bersatu, tidak mudah terprovokasi dan paling utama, semoga para pemimpin-pemimpin kita sadar dan jangan takut sama KPK. Takutlah sama Tuhan," tutupnya.
Untuk diketahui, seluruh prosesi upacara di RW 01 digelar dengan bahasa Jawa. Ketua RW 01, Masudi, mengatakan tradisi ini sudah berjalan lebih dari satu dekade. Tujuannya, menjaga warisan budaya sekaligus memberi makna lebih dalam pada peringatan kemerdekaan.
"Bahasa Jawa yang kita punya itu sudah ditinggalkan oleh masyarakat-masyarakat, kebanyakan sekarang anak kecil," kata Masudi usai upacara, Minggu (17/8).
Ia berharap, perasaan memiliki masyarakat terhadap bahasa ibu itu bisa hadir lewat upacara pagi ini.
"Wong Jawa aja nganti ilang Jawane (orang Jawa jangan sampai hilang Jawanya)," tutur Masudi.
Sebagian warga yang memilih tampil dengan kostum gelandangan, kata Masudi, jadi pengingat bahwa masih ada sekitar 5 persen dari 550 KK di wilayahnya yang hidup dalam keterbatasan.
"Lewat simbol itu, kita diingatkan untuk terus bergotong royong, mbangun bebarengan, ngangkat derajat sesama," katanya.
Suasana meriah diiringi tawa, tepuk tangan, dan keakraban antartetangga. Namun di balik keceriaan itu, ada pesan mendalam tentang pentingnya kebersamaan, budaya, dan kepedulian sosial.
"Konsepnya sederhana, nguri-uri warisan leluhur lewat bahasa Jawa, sembari ngajak warga kanggo ora lali gotong royong. Mbangun kemerdekaan kuwi ora mung seneng-seneng, tapi kudu nyengkuyung bebarengan," tutur Masudi.
Selain Wahid dengan kostum One Piece, ada pula warga lain yang mengenakan kostum layangan hingga gelandangan. Semua itu jadi simbol kebebasan berekspresi sekaligus pengingat akan pentingnya gotong royong di tengah kehidupan bermasyarakat.
Ketua karang taruna, Muhammad Bachtiar (20), misalnya, datang dengan kostum layangan. Ia ingin menggambarkan tradisi sore hari di kampungnya yang masih rutin mengadakan lomba layangan.
"Setiap sore itu ada namanya pertarungan harga diri. Kami para remaja sampai bapak-bapak ikut semuanya bermain layangan," ujarnya.
Pada momen Agustusan kali ini, ia memaknainya dengan kebebasan berekspresi yang harus tetap dipegang erat masyarakat Indonesia.
"Merdeka itu bebas berekspresi, bebas nyengkuyung kegiatan bareng-bareng," kata Bachtiar.
(apu/apu)