Pakar Kebijakan Publik Universitas Negeri Semarang (Unnes) Dr. Cahyo Seftyono, S.Sos., M.A menilai ledakan demo PBB di Kabupaten Pati bukan semata-mata soal kenaikan pajak. Namun, faktor kepemimpinan Bupati Pati yang disebut bermasalah juga menjadi pemicu utama kemarahan warga.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unnes itu mengatakan kenaikan PBB terjadi di beberapa daerah, seperti Kabupaten Semarang yang naik 441 persen, dan Jombang serta Cirebon yang juga naik hingga 1000 persen. Namun, demo besar-besaran baru terjadi di Kabupaten Pati.
"Jadi yang menjadi alasan menurut saya faktor kepemimpinannya dan tata kelola pemerintahannya, yang menurut saya memang agak bermasalah di situ, kepemimpinan yang tidak mengayomi," kata Cahyo saat dihubungi detikJateng, Kamis (14/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, kenaikan pajak adalah hal yang wajar terjadi. Namun, kepemimpinan Bupati Sudewo yang disebut tidak mengayomi masyarakat dan sempat menantang pendemo.
Di sisi lain, warga juga sudah dibuat berang dengan berbagai konflik di eranya. Seperti kasus pengisian jabatan Direktur RSUD RAA Soewondo Pati yang tidak sah dan 220 orang yang diberhentikan secara sepihak, yang turut dibahas dalam Pansus Hak Angket DPRD Pati tentang Pemakzulan Bupati Pati Sudewo.
"Jadi yang kemudian menyulut amarah publik, kalau menurut saya nggak cuma sekedar PBB. Kalau PBB itu mungkin karena pancingan terakhirnya," ungkapnya.
Dosen Ilmu Politik itu membandingkan Pati dengan daerah lain, yang juga menaikkan PBB tanpa memicu demo besar. Di tempat lain, kata Cahyo, pemerintah daerah mengajak dialog tokoh masyarakat, memberi keringanan bagi kelompok rentan, dan mengelola isu dengan halus.
"Dugaan saya kenaikan itu dilakukannya secara smooth, halus. Dalam artian publik diajak berbicara, ada perwakilan, sehingga ketika ada kenaikan, ada saluran-saluran lain yang bisa menjadi penyeimbang," ujarnya.
"Nggak cuma head to head antara eksekutif dengan publik tetapi ada tokoh-tokoh yang kemudian bisa menjelaskan kepada publik yang relatif bisa dipercaya," lanjutnya.
Akademisi yang fokus dalam isu analisis kebijakan ini menyebut, kemarahan warga Pati bisa juga dipicu gaya komunikasi Bupati yang dianggap menantang warga di awal protes.
"Di saat orang susah, mereka butuh solusi, bukan tantangan. Orang Jawa itu sebenarnya bisa diajak rembug, asal pendekatannya tepat," ujarnya.
Soal kemungkinan demo di daerah lain, lulusan S2 UGM ini mewanti-wanti potensi demo layaknya di Pati terbuka di seluruh daerah. Terlebih, gerakan perlawanan di Pati sudah menjadi isu nasional.
"Kalau di Pati bisa, daerah lain juga bisa. Bedanya kalau elite politiknya cepat mengantisipasi dan merangkul publik, ya bisa dihindari," kata dia.
Menurutnya, yang bisa dipetik dari demo Pati yakni para elite politik harus mampu membuat komunikasi publik yang baik. Jangan sampai saat membuat kebijakan yang menyinggung hak publik.
"Seorang kolega yang jadi profesor di Australia dia menyampaikan, 'orang kaya itu baru lihat orang miskin itu ketika mereka melakukan kekacauan'," ungkap dia.
"Jadi, kadang-kadang orang yang sudah berkuasa, sudah kaya, menganggap orang yang kesulitan itu 'yo wislah karepe (ya sudah terserah)' jangan sampai terjadi di diri kita," lanjutnya.
Kini, kata Cahyo, yang dibutuhkan Bupati Sudewo bukan hanya dukungan elite politik. Namun, juga menjaga kepercayaan publik kepadanya.
"Yang dibutuhkan bupati tidak sekedar dukungan elite politik, tapi bagaimana publik itu dibuat percaya bahwa bupati tidak akan melakukan hal yang sama, kalau misalkan nanti tidak jadi turun," tutupnya.
(ams/apl)