Ternyata ada lautan sampah di balik pemandangan eksotis tebing cadas Brown Canyon Semarang. Keindahan bekas lokasi tambang yang berada di perbatasan Kecamatam Tembalang, Kota Semarang dan Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak itu kini terkikis oleh sampah dan polusi.
Tak hanya tak enak dipandang, bau limbah langsung menyergap ketika memasuki kawasan Mbengkung, Kebonbatur, Demak. Kawasan itu tak jauh dari titik tempat pembuangan sampah atau TPA illegal itu.
Pantauan detikJateng di kawasan Brown Canyon, Kelurahan Rowosari, Kecamatan Tembalang, Senin (4/8/2025) siang sekitar pukul 13.00 WIB, tampak truk-truk tangki septic tank dan pengangkut sampah melintasi jalan berdebu tanpa henti.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Debu jalanan imbas lalu lalang truk di jalan beralas tanah juga terasa mengganggu. Di siang yang panas ini, tak tampak satu pun batang hidung wisatawan di Brown Canyon.
Perlu diketahui kawasan ini pernah disebut-sebut sebagai 'Arizona-nya Indonesia'. Green lake alias cekungan berisi air hijau tampak kontras dengan tebing-tebing cadas dan debu beterbangan, layaknya oase yang terperangkap dalam pusaran tambang.
![]() |
Sudah Bertahun-tahun
Beberapa warga sekitar Brown Canyon yang dijumpai tampak menyapu halaman yang hampir tiap detik berdebu itu sambil memakai masker. Bau tak sedap sudah tercium dari jarak satu kilometer dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) ilegal.
Salah satu warga, Haru Wibowo (47), sudah tak ingat lagi kapan pertama kali truk-truk mulai membuang sampah di sana. Menurutnya, hal itu sudah terjadi puluhan tahun.
"Ini sudah bertahun-tahun, ada puluhan tahun. Setiap hari saya hirup bau seperti ini," kata Heru, warga asli Kebonbatur yang tinggal tak jauh dari titik pembuangan kepada detikJateng, Senin (4/8/2025).
Ia mengaku sejak kecil tinggal di kawasan yang dulu merupakan bukit batu hijau dan sejuk. Brown Canyon, kata dia, dulu adalah gunung. Anak-anak bermain layangan di puncaknya. Remaja-remaja jatuh cinta di bibir tebing.
Tapi sejak akhir 1990-an, alat berat datang menggali, menggerus, dan mengoyak tubuh batu itu sampai habis. Kini yang tersisa hanya cekungan dalam yang dipenuhi sampah rumah tangga, limbah plastik, dan yang lebih parah yakni kotoran manusia.
![]() |
"Dulu di sini gunung, terus dikeruk sampai jadi cekungan besar. Sekarang jadi tempat buang sampah, bahkan limbah septic tank dari mana-mana dibuang di sini," ujarnya.
"Dulu di sini sejuk. Jalan juga nggak seperti ini. Ini dicor baru-baru saja. Sekarang? Panas, debu, bau, mau lapor juga nggak tahu ke siapa. Yang ngurus orang-orang di atas, kita yang di bawah cuma pasrah," lanjutnya dengan nada lirih sembari takut suaranya tertelan deru truk.
Ia mengaku warga sudah berkali-kali menyampaikan keluhan ke pemerintah desa. Beberapa tahun lalu sempat ada pemadaman, katanya, tapi tak lama api muncul kembali. Tak ada papan peringatan adanya TPA. Tak ada garis batas dengan pemukiman warga. Tak ada turun tangan pemerintah.
Truk Septic Tank Juga Buang Limbah
Truk septic tank datang setiap hari, bisa puluhan kali, membawa kotoran manusia dan membuangnya ke dasar cekungan. Dalam waktu satu jam saja, tampak ada lima septic tank datang membawa kotoran manusia.
Jika hujan turun, limbah itu mengalir ke sungai yang melewati kampung. Tapi jika langit cerah berhari-hari, limbah membusuk di tempat, menguarkan bau yang bisa membuat perut mual meski dalam keadaan kosong.
"Air limbahnya ngalir ke sungai. Kalau nggak ada hujan ya makin bau, karena sampahnya itu numpuk," ujar Heru.
Desa Mbengkung dan Kelurahan Rowosari hanya dipisahkan satu tebing. Tapi soal tanggung jawab, jaraknya seperti langit dan bumi. Heru menyebut pengelola pembuangan berasal dari Rowosari.
"Dulu katanya pernah ada rembukan, tapi hasilnya ya begitu-begitu saja. Kami cuma bisa minta yang baik-baik saja. Selama ini mggak ada tindak lanjut," ujarnya.
Selengkapnya di halaman berikutnya...
Pantauan detikJateng, truk tangki septic tank berwarna oranye keluar-masuk kawasan itu, menuju titik pembuangan yang tidak ditandai sebagai TPA resmi. Bau menyengat makin terasa saat mendekati dasar galian.
Tumpukan sampah plastik, karung bekas, hingga sisa-sisa limbah organik terlihat berserakan di sekeliling gubuk-gubuk pemulung. Beberapa pemulung tampak bekerja di antara tumpukan sampah rumah tangga, plastik, dan logam di dasar cekungan tambang.
Di balik pohon pisang, tampak lapak pemulung. Karung-karung plastik, gundukan botol bekas, dan serpihan logam menggunung di sekitar gubuk reot. Seorang lelaki sedang menunduk, memilah satu per satu barang sisa kehidupan orang lain.
"Saya ngambil sampah di sini, mbongkar. Kalau panas, nggak hujan seminggu-dua minggu, biasanya muncul api dari jurang. Nggak ada yang mbakar. Tiba-tiba keluar sendiri dari bawah," ungkapnya.
Warga perumahan di sisi Rowosari maupun Kebonbatur sama-sama merasakan dampaknya. Dedi (32), penjaga malam dan warga sekitar, menyebut asap pembakaran bisa muncul dua kali dalam seminggu dan membuat sesak napas.
Sementara itu, Luthfia (30), warga Perumahan Semesta Klipang, mengungkap anaknya yang masih bayi kerap terganggu kesehatannya akibat asap dan abu yang masuk rumah. Dipaksa menerima situasi itu, Lutfia dan keluarga kecilnya itu tak bisa berbuat apa-apa lagi.
"Baunya sampai ke dalam rumah. Anak saya batuk-batuk kecil. Kalau malam api bahkan kelihatan dari pos satpam, paginya asap hitam tebal. Kadang saya sampai ngungsi ke rumah orang tua," ujar Luthfia.