Ada yang unik di Desa Gombang, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten. Masih banyak masyarakatnya yang setia menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) di teras rumah.
Suara kayu yang beradu dari mesin ATBM terdengar di sepanjang jalan Dukuh Karangjati. Tampak beberapa ibu-ibu tengah mengoperasikan ATBM untuk menghasilkan tenun lurik di depan teras rumahnya masing-masing.
Salah satunya warga Dukuh Karangjati, Kardiyem (60). Perempuan yang sudah menenun sejak pukul 08.00 WIB itu mengaku sudah setia menenun menggunakan ATBM selama puluhan tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sudah 50-an tahun, kerja untuk juragan. Sehari paling bisa habis 10-15 meter," kata Kardiyem saat ditemui detikJateng di rumahnya, Rabu (18/9/2024).
Kardiyem menuturkan, pekerjaan menenun itu terus ia tekuni sejak masih berumur 20-an tahun. Ditemani Sang Suami dan cucunya, ia dengan teliti menenun menggunakan ATBM di depan rumah.
Berdasarkan keterangan Kardiyem, sudah sejak dahulu banyak perajin lurik tenun di Desa Gombang. Hampir setiap teras rumah warga memiliki ATBM yang akan dioperasikan setiap siang, kala para ibu-ibu telah menyelesaikan tugas rumah tangganya masing-masing.
"Kalau dulu setiap rumah itu ada ATBM-nya. Alatnya ndak bisa masuk rumah karena terlalu besar, jadi diletakkan di luar," jelas Kardiyem.
Namun sejak muncul pandemi Covid-19, para perajin lantas beralih profesi dan hanya menyisakan beberapa perajin lurik tenun di desa tersebut.
"Saya meneruskan ini ya selain karena untuk mengisi waktu tua juga untuk melestarikan budaya," tuturnya.
Begitu pula warga Dukuh Karangjati lainnya, Ngadinah (60). Ia tengah mengerjakan kain lurik tenun sepanjang 200 meter menggunakan ATBM di depan rumahnya.
Ia menjelaskan, kebanyakan perajin lurik tenun di Desa Gombang mendapatkan ATBM dari pengusaha lurik di wilayah tersebut. Para perajin akan diberikan ATBM sekaligus kain sepanjang kurang lebih 200 meter.
"Kalau saya sehari bisa menenun 8-10 meter, itu dikerjakan dari jam 10.00 WIB, waktu sudah luang dari mengerjakan tugas rumah," kata Ngadinah.
Perempuan yang sudah menjadi perajin lurik tenun selama 10 tahun itu tampak lihai menggunakan erek, atau sebutan ATBM. Ada beberapa alat yang digunakan saat menenun menggunakan ATBM, mulai dari teropong, klething, klethek, hingga sisir.
"Saya dari lulus kelas 3 SD itu sudah menenun sejak kecil. Ngikuti orang tua," tuturnya.
"Per meter dibayar Rp 2,5 ribu. Kalau sebulan nggak pasti, biasanya 250 meter. Tapi nggak pasti habis, tergantung pengerjaannya," lanjut Ngadinah.
Ngadinah pun berharap, di tengah maraknya tenun yang dibuat menggunakan mesin, eksistensi lurik ATBM yang menjadi warisan budaya khas Kabupaten Klaten itu dapat terus dilestarikan generasi-generasi selanjutnya.
(ega/ega)