Kementerian Kesehatan RI mengungkap dugaan pemalakan dalam kasus bullying berujung kematian dokter residen berinisial ARL, peserta program dokter spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (FK Undip). Menurut mahasiswa senior, itu uang iuran untuk makan dan kebutuhan bersama.
Salah satu mahasiswa senior PPDS Anestesi Undip, Angga Rian, mengatakan pengelolaan uang makan menjadi vital bagi dokter residen anestesi terutama saat jaga malam. Sebab, ada kalanya dokter residen tidak bisa meninggalkan kamar operasi hanya sekadar untuk makan.
"Membeli makanan itu sistemnya gotong royong, kenapa? Karena program operasi Kariadi ini 24 jam, untuk makan malam kita tidak disediakan makan malam oleh rumah sakit. Nah sementara residen ini posisinya masih di kamar operasi menjalankan pembiusan, salah satu sistemnya adalah kita dibelikan makanan dan itu akan berlanjut seperti itu terus sampai program operasinya bisa selesai," kata Angga saat ditemui wartawan di FK Undip, Tembalang, Semarang, Senin (2/9/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Angga bilang tradisi itu sudah lama berlaku di kalangan mahasiswa PPDS. Menurut dia, para junior kelak juga akan menerapkan hal yang sama. Sebab, cara itu dinilai menjadi solusi bersama untuk mengatasi beratnya menempuh pendidikan di tempat itu.
"Almarhumah bagaimana ketika sudah senior? Ketika sudah senior juga makannya disediakan oleh adiknya yang paling kecil, jadi memang pembagian makan itu dibantu oleh adik yang paling kecil agar yang di kamar operasi tetap bisa menjalankan pembiusan," jelasnya.
Mengenai besaran iurannya, Angga mengatakan setiap angkatan berbeda angkanya. Dia mengaku tak tahu persis berapa iuran yang dibayarkan oleh dr ARL.
Uang itu juga disebut dikelola oleh bendahara mahasiswa semester pertama. Ketika sudah ada angkatan baru, uang yang terkumpul di bendahara akan dikembalikan.
"Tidak tentu (jumlah iuran), ada yang tidak perlu iuran dalam satu bulannya. Makanya iuran itu tergantung kebutuhan kita untuk kas buat makan, paling besar pas saya Rp 10 juta dan kalau ada sisa itu dikembalikan dan itu kan hanya satu semester saja," ucap Angga, kemarin.
"Pemalakan itu tidak ada, iuran ke seseorang itu tidak ada, kalau iuran untuk makan, rumah tangga, untuk air minum itu diatur oleh bendahara. Kalau nilainya (tidak tahu) saya tidak seangkatan sama dia ya," sambung dia.
Diberitakan detikHealth sebelumnya, juru bicara Kemenkes dr Mohammad Syahril mengungkap perihal pemalakan itu. Dia bilang ada permintaan uang sebesar Rp 20-40 juta per bulan di luar biaya pendidikan.
"Permintaan uang ini berkisar antara Rp 20-Rp 40 juta per bulan," kata Syahril pada Minggu (1/9), dikutip dari detikHealth.
Korban dr ARL disebut ditunjuk sebagai bendahara angkatan yang bertugas menerima pungutan dari teman seangkatannya dan juga menyalurkan uang tersebut untuk kebutuhan-kebutuhan non-akademik antara lain; membiayai penulis lepas untuk membuat naskah akademik senior, menggaji OB, dan berbagai kebutuhan senior lainnya.
Faktor ini diduga menjadi pemicu awal almarhumah mengalami tekanan dalam pembelajaran karena tidak menduga akan adanya pungutan-pungutan dengan nilai sebesar itu.
"Bukti dan kesaksian akan adanya permintaan uang di luar biaya pendidikan ini sudah diserahkan ke pihak kepolisian untuk dapat diproses lebih lanjut," ujar dr Syahril saat itu.
(dil/rih)