3 Khutbah Jumat: Menjaga Silaturahmi dengan Halal Bihalal di Bulan Syawal

3 Khutbah Jumat: Menjaga Silaturahmi dengan Halal Bihalal di Bulan Syawal

Ulvia Nur Azizah - detikJateng
Kamis, 18 Apr 2024 18:44 WIB
Ilustrasi sholat jumat
Ilustrasi sholat jumat Foto: Nur Umar Akashi/detikJogja
Solo - Khutbah Jumat tentang menjaga silaturahmi dengan halal bihalal sebaiknya disampaikan pada bulan Syawal. Pasalnya, di bulan Syawal, ada hari raya Idul Fitri yang sangat identik dengan halal bihalal.

Dikutip dari laman resmi Direktorat Sekolah Menengah Pertama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, halal bihalal merupakan tradisi silaturahmi khas Indonesia. Halal bihalal dilakukan dengan cara berkunjung ke rumah tetangga atau kerabat untuk saling memaafkan.

Berikut adalah beberapa contoh teks khutbah Jumat tentang menjaga silaturahmi dengan halal bihalal yang dikutip dari laman resmi Nahdlatul Ulama dan Majelis Ulama Indonesia Kota Semarang.

Khutbah Jumat Tentang Menjaga Silaturahmi #1

Hadirin yang dirahmati Allah,

Segala puji hanya bagi Allah swt, yang telah memberikan kita berbagai nikmat, baik yang materi maupun yang tidak. Shalawat dan salam selalu kita haturkan kepada Nabi Muhammad saw, keluarga beliau, dan para sahabatnya, yang telah memperjuangkan agama Islam hingga tegak sampai hari kiamat.

Salah satu kunci keberhasilan Nabi Muhammad dan para sahabat adalah menjaga silaturahmi, hubungan baik antar sesama umat Islam. Silaturahmi adalah sikap baik terhadap kerabat atau orang yang bisa menyambungkan hubungan antar dua pihak. Ini bisa berupa bantuan, kunjungan, memberi salam, dan lainnya, tidak hanya terbatas pada kerabat darah, tetapi juga bisa berupa tetangga, teman, dan kolega, bahkan yang berbeda agama. Silaturahmi dalam Islam bertujuan menciptakan masyarakat yang rukun dan damai, di mana interaksi antar sesama manusia berlangsung dengan baik.

Meskipun Islam mengakui perbedaan sebagai keniscayaan, termasuk perbedaan pandangan, Allah menciptakan manusia dengan keberagaman. Namun, perbedaan tersebut tidak menghalangi interaksi sosial yang harmonis dan perdamaian di antara umat manusia. Sebagaimana dijelaskan dalam surat Ar-Rum ayat 22.

وَمِنْ آَيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ

Artinya: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah penciptaan langit dan bumi, dan berlain-lainan bahasa dan warna kulit kalian. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui". (QS. Ar-Rum: 22).

Ayat tersebut tidak secara langsung menyebutkan perbedaan pandangan, tetapi perbedaan dalam ayat tersebut menjadi representasi dari keragaman dalam banyak hal, termasuk perbedaan pandangan. Setiap individu memiliki latar belakang, pengetahuan, dan pengalaman yang berbeda, yang juga memengaruhi pandangan politik mereka. Namun, perbedaan ini seharusnya dianggap sebagai hal yang alami dan tidak perlu menjadi sumber konflik. Sebaliknya, perbedaan pandangan politik harus dihargai sebagai bagian dari kekayaan sebuah masyarakat yang mengadopsi sistem demokrasi.

Mengingat bahwa perbedaan pandangan adalah bagian dari kodrat manusia, tidak ada alasan untuk memaksakan pandangan atau merasa lebih benar dari orang lain, sehingga memutuskan hubungan dengan mereka yang memiliki pandangan berbeda. Memutuskan silaturahmi dengan alasan perbedaan pandangan tidak bijaksana, dan Nabi Muhammad sendiri pernah menyatakan bahwa orang yang memutuskan silaturahmi tidak akan masuk surga.

Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk menghormati perbedaan pandangan politik dan menjaga hubungan yang baik dengan semua orang, terlepas dari perbedaan tersebut, seperti sabda Rasulullah SAW:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ
Artinya: "Orang yang memutus (silaturahim) tidak akan masuk surga."

Ancaman ini menunjukkan kesungguhan Nabi bahwa silaturahim adalah bagian integral dari ajaran agama yang harus dipelihara. Tidak boleh seorang pun memutus hubungan silaturahim, terutama hanya karena perbedaan pilihan politik yang bersifat sementara. Hubungan yang telah terjalin selama bertahun-tahun tidak seharusnya dirusak oleh perbedaan pendapat mengenai agenda politik lima tahunan.

Meskipun seseorang mungkin mendapatkan kompensasi atau keuntungan sementara berupa jabatan politik, tetapi hubungan dengan keluarga, tetangga, teman, dan kolega memiliki nilai yang jauh lebih berarti dalam jangka waktu yang lebih panjang. Oleh karena itu, lebih masuk akal untuk memprioritaskan hubungan yang langgeng daripada kepentingan politik sesaat.

Dengan budaya sosial masyarakat Indonesia yang menghargai pertemuan dan interaksi dengan keluarga dan tetangga, serta didukung oleh tradisi keagamaan dan budaya, jelas bahwa hubungan dengan mereka akan lebih intens daripada dengan orang-orang yang memiliki pandangan politik yang sama. Oleh karena itu, penting untuk menjaga silaturahim dan tidak memutuskannya hanya karena perbedaan pilihan politik.

Melalui khutbah ini, khatib ingin menegaskan bahwa memutuskan silaturahim karena perbedaan pilihan politik bukanlah tindakan yang bijaksana. Konsekuensinya tidak hanya berdampak pada pelakunya, tetapi juga dapat berpengaruh pada orang-orang di sekitarnya. Ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad.

إِنَّ الرَّحْمَةَ لَا تَنْزِلُ عَلَى قَوْمٍ فِيهِمْ قَاطِعُ الرَّحِمِ
Artinya: "Sesungguhnya rahmat (Allah) tidak akan turun kepada suatu kaum yang di dalamnya terdapat pelaku memutus silaturrahim."

Ancaman ini menunjukkan kesungguhan Nabi bahwa silaturahim adalah bagian integral dari ajaran agama yang harus dipelihara. Tidak boleh seorang pun memutus hubungan silaturahim, terutama hanya karena perbedaan pilihan politik yang bersifat sementara. Hubungan yang telah terjalin selama bertahun-tahun tidak seharusnya dirusak oleh perbedaan pendapat mengenai agenda politik lima tahunan.

Meskipun seseorang mungkin mendapatkan kompensasi atau keuntungan sementara berupa jabatan politik, tetapi hubungan dengan keluarga, tetangga, teman, dan kolega memiliki nilai yang jauh lebih berarti dalam jangka waktu yang lebih panjang. Oleh karena itu, lebih masuk akal untuk memprioritaskan hubungan yang langgeng daripada kepentingan politik sesaat.

Dengan budaya sosial masyarakat Indonesia yang menghargai pertemuan dan interaksi dengan keluarga dan tetangga, serta didukung oleh tradisi keagamaan dan budaya, jelas bahwa hubungan dengan mereka akan lebih intens daripada dengan orang-orang yang memiliki pandangan politik yang sama. Oleh karena itu, penting untuk menjaga silaturahim dan tidak memutuskannya hanya karena perbedaan pilihan politik.

Melalui khutbah ini, khatib ingin menegaskan bahwa memutuskan silaturahim karena perbedaan pilihan politik bukanlah tindakan yang bijaksana. Konsekuensinya tidak hanya berdampak pada pelakunya, tetapi juga dapat berpengaruh pada orang-orang di sekitarnya. Ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad.

إِنَّ الرَّحْمَةَ لَا تَنْزِلُ عَلَى قَوْمٍ فِيهِمْ قَاطِعُ الرَّحِمِ
Artinya: "Sesungguhnya rahmat (Allah) tidak akan turun kepada suatu kaum yang di dalamnya terdapat pelaku memutus silaturrahim."

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, dalam mengutip pendapat al-Thibi, menjelaskan bahwa hadits tersebut dapat juga mengacu pada suatu kelompok yang secara bersama-sama mendukung tindakan seseorang yang memutuskan silaturahim, tanpa menentangnya. Dampaknya, kehidupan sosial kelompok tersebut menjadi tidak stabil dan penuh dengan masalah. Tentu saja, situasi semacam ini tidak diharapkan terjadi di Indonesia, negara kita yang tercinta.

Di tengah masa politik yang penuh dengan perbedaan pandangan, penting bagi kita untuk menjaga ketenangan dan kesukacitaan. Meskipun perbedaan pandangan semakin nyata, kehidupan bersama dalam bermasyarakat dan bernegara harus tetap dijaga dengan baik. Silaturahim yang terus terjalin di tengah-tengah perbedaan menjadi jembatan yang mengikat dalam memelihara kerukunan dan perdamaian bersama.

بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ.

Khutbah Jumat Tentang Menjaga Silaturahmi #2

Jamaah sidang Jumat yang dirahmati oleh Allah,

Mari kita bersama-sama meningkatkan iman dan taqwa kita kepada Allah dengan meningkatkan kualitas ibadah kita serta menjauhkan diri dari segala bentuk kemaksiatan kepada-Nya. Pada kesempatan yang mulia ini, Khotib akan menyampaikan topik Khutbah: "SYAWAL & SILATURAHIM".

Menyambung tali silaturahim merupakan salah satu bentuk kecintaan dan ketakwaan seorang hamba kepada Allah. Hal ini ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menyambung hubungan silaturahmi".

Dalam hadis lainnya, disebutkan bahwa Allah menciptakan makhluk-Nya hingga selesai, lalu rahim (rahim atau ikatan keluarga) berdiri seraya berkata: "Ini adalah kedudukan orang yang berlindung dengan-Mu dari memutuskan". Allah bertanya apakah Dia akan menyambung orang yang menyambung kita dan memutuskan orang yang memutuskan kita.

Dengan demikian, menyambung tali silaturahmi menjadi ajang mendekatkan diri kepada Allah. Allah memerintahkan hamba-Nya untuk menjaga keutuhan antara sesamanya, menjanjikan pahala bagi yang memperpanjang tali silaturahmi, dan memberikan peringatan bagi yang memutuskan hubungan tersebut.

Melalui silaturahmi, seseorang dapat memperluas rezeki orang lain dengan bantuan yang diberikan Allah. Allah juga menjanjikan kemudahan dan pahala bagi siapa saja yang memperpanjang tali silaturahmi dan memudahkan urusan saudaranya.

Dalam sebuah riwayat yang panjang, disampaikan kisah seorang yang kaya raya yang berangkat haji dan menitipkan uangnya kepada seseorang yang kemudian wafat. Melalui perjalanan yang panjang, akhirnya orang kaya tersebut menemukan uangnya dan menyadari bahwa temannya termasuk golongan ahli neraka karena memutuskan hubungan dengan saudaranya.

Maka, jamaah sholat Jumat yang terkasih, mari kita mengambil pelajaran dari kisah ini. Janganlah kita memutuskan hubungan silaturahim, terutama dengan saudara-saudara kita. Bulan ini, bulan silaturahim, menjadi kesempatan emas bagi kita untuk menyambung kembali tali yang terputus sebelumnya. Jangan biarkan egoisme, rasa tidak pantas, atau angkuh menghalangi kita. Sambungkanlah tali silaturahim demi kebahagiaan negeri akhirat kita, demi ridha Allah, dan demi rahmat serta ampunan-Nya.

Allah berfirman di dalam surat An-Nisa ayat 1

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءًۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

Artinya:
"Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) dan Dia menciptakan darinya pasangannya (Hawa). Dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu."

Khutbah Jumat Tentang Menjaga Silaturahmi #3

Sidang jamaah Shalat Jumat yang disayangi,

Marilah kita mengucapkan puji dan syukur kepada Allah Rabbul'izzati atas kesempatan yang diberikan-Nya pada hari ini. Kita kembali melaksanakan kewajiban sebagai seorang Muslim dengan bersama-sama melaksanakan Shalat Jumat di masjid ini. Mari kita sampaikan shalawat dan salam kepada Nabi Besar kita, Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, serta kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya. Semoga kita semua yang hadir di masjid ini mendapatkan syafaat dari Nabi di Hari Kiamat kelak. Amin.

Pada kesempatan kali ini, saya sebagai khatib ingin mengajak kita semua untuk meningkatkan takwa kepada Allah dengan sungguh-sungguh. Takwa yang sejati adalah dengan melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.

Hari ini merupakan hari ketujuh bulan Syawal, masih dalam suasana Syawal yang penuh berkah. Ini juga merupakan momen halalbihalal bagi masyarakat Indonesia. Suasana ini penuh dengan maaf-memaafkan, bersalam-salaman, dan kebahagiaan dalam berlomba-lomba untuk menyambung tali silaturahim.

Halalbihalal, jika dilihat dari perspektif budaya, merupakan tradisi yang khas hanya ada di Indonesia dengan istilah yang berasal dari bahasa Arab. Maknanya mencakup acara maaf-maafan di hari Lebaran yang mengandung nilai silaturahim. Dari segi fiqih, halalbihalal memberikan pesan bahwa mereka yang melaksanakannya akan terbebas dari dosa.

Halalbihalal mengubah sikap yang tadinya haram atau dosa menjadi halal atau tidak berdosa lagi, dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan, seperti saling maaf-memaafkan dengan lapang dada.

Asal usul halalbihalal berasal dari KH Abdul Wahab Chasbullah pada tahun 1948, seorang ulama pendiri Nahdlatul Ulama. Beliau memperkenalkan istilah halalbihalal kepada Bung Karno sebagai bentuk cara silaturahim antarpemimpin politik yang pada saat itu masih terdapat konflik.

Pada Hari Raya Idul Fitri 1948, Bung Karno mengundang seluruh tokoh politik untuk menghadiri silaturahim yang diberi judul halalbihalal. Sejak saat itu, berbagai instansi pemerintah di masa pemerintahan Bung Karno menyelenggarakan halalbihalal. Tradisi ini kemudian diikuti oleh masyarakat Indonesia secara luas, terutama masyarakat Muslim di Jawa.

Budaya halal bihalal memiliki beberapa kebaikan, antara lain:

1. Menjadi Seorang Pemaaf

Menjadi pemaaf adalah salah satu aspek penting dari halalbihalal. Setelah menjalani bulan Ramadhan dengan penuh ibadah puasa, halal bihalal menjadi momen untuk menjalin silaturahim antarsesama. Biasanya, halalbihalal dimulai dengan saling memaafkan atas segala kesalahan melalui tradisi sungkeman atau salaman. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ

Artinya: "Jadilah pemaaf dan anjurkanlah orang berbuat baik, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh." (QS Al-A'raf: 199).

2. Terbebas dari Dosa

Mengikuti tradisi halalbihalal memungkinkan seseorang untuk dibebaskan dari dosa-dosa yang mungkin terjadi di antara sesama. Dengan saling meminta dan memberi maaf atas dosa dan kesalahan yang terjadi di antara masyarakat, mereka menjadi terbebas dari dosa-dosa tersebut. Hal ini menunjukkan pentingnya budaya saling memaafkan dalam kehidupan beragama dan sosial. Rasulullah saw. telah bersabda:

عَنْ سَلْمَانِ الْفَارِسِيِّ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:"إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا لَقِيَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ فَأَخَذَ بِيَدِهِ تَحَاتَّتْ عَنْهُمَا ذُنُوبُهُمَا، كَمَا تَتَحَاتُ الْوَرَقُ مِنَ الشَّجَرَةِ الْيَابِسَةِ فِي يَوْمِ رِيحٍ عَاصِفٍ، وَإِلا غُفِرَ لَهُمَا، وَلَوْ كَانَتْ ذُنُوبُهُمَا مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ" - رواه الطبراني

Artinya: ''Dari Salman Al-Farisy RA, Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya seorang muslim apabila bertemu dengan saudaranya sesama muslim kemudian keduanya berjabat tangan, maka akan gugurlah dosa-dosa keduanya sebagaimana bergugurannya daun-daun kering di hari angin bertiup kencang. Ataupun jika tidak, maka dosa-dosa keduanya akan diampuni walaupun seumpama sebanyak buih di lautan." (HR Turmudzi, Abu Daud, dan Ibnu Majah)

3. Perekat Persaudaraan

Tujuan dari halal bihalal adalah untuk menguatkan ikatan persaudaraan di antara sesama umat Muslim. Dalam pelaksanaannya, setiap kali kita melaksanakan halalbihalal, kita bertemu dengan sesama Muslim, saling mengampuni, dan saling mendoakan. Semua menjadi lebih harmonis dan lebih bersedia untuk memaafkan serta mendoakan sesama yang kita temui, baik itu dengan sengaja maupun tidak sengaja. Oleh karena itu, halalbihalal dapat meningkatkan kedekatan hubungan dengan orang lain. Allah berfirman:

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Artinya: "Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat." (QS Al-Hujurat: 10)

4. Membangun Nilai Sosial Masyarakat

Tradisi halal bihalal tidak hanya mempromosikan maaf-memaafkan dan memperkuat hubungan sosial, tetapi juga memiliki dampak yang lebih luas dalam membangun nilai-nilai sosial di tengah-tengah masyarakat. Ini tidak hanya tentang mempererat hubungan antarindividu, tetapi juga tentang memperkaya interaksi sosial yang lebih luas. Dalam ilmu sosiologi agama, ada pemahaman bahwa agama seharusnya dapat menangani isu-isu penting dalam kehidupan bersama masyarakat.

Isu-isu tersebut tidak hanya bersifat pribadi, tetapi juga bersifat publik. Ketika institusi-institusi teknologi dan teknik tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah sosial yang kompleks, agama, dengan dimensi supernaturalnya, seringkali dianggap sebagai alternatif yang dapat mengatasi keterbatasan tersebut.

'Diriwayatkan dari Abi Musa ra. di berkata, "Rasulullah pernah bersabda, 'Orang mukmin yang satu dengan yang lain bagai satu bangunan yang bagian-bagiannya saling mengokohkan.'' (HR Bukhari - 481)

Semoga kita semua dapat terus menjaga semangat untuk memelihara budaya tersebut dalam lingkungan masyarakat kita. Dengan begitu, kita dapat menjadi masyarakat yang penuh dengan kasih sayang dan mendapatkan ampunan dari Allah. Amin.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Itulah beberapa contoh khutbah Jumat tentang menjaga silaturahmi dengan halal bihalal di bulan Syawal. Semoga bermanfaat!


(par/cln)


Hide Ads