Ketua PUI Javanologi UNS Prof. Sahid Teguh Widodo menjelaskan, sedekahan itu merupakan salah satu tradisi yang dilakukan masyarakat Indonesia. Hewan yang disembelih bisa berbeda di masing-masing daerah, tergantung maknanya.
"Itu menunjukkan masih ada semesta simbolik dari zaman dahulu, yang masih dilakukan sekarang. Karena keyakinan seseorang itu substansinya berkorban atau sedekah, mengurangi apa yang kita peroleh diberikan kepada orang lain dalam bentuk apapun," kata Sahid saat dihubungi detikJateng, Kamis (21/3/2024).
Kegiatan itu dilakukan karena aspek ilahiah masih satu garis dengan kehidupan makrokosmos (semesta), dan mikrokosmos (manusia). Sahid mengatakan, ajaran dari sumber tradisi, agama, maupun filsafat, manusia tidak memiliki alasan untuk tidak berbuat baik dengan orang lain, maupun alam.
Dalam budaya Jawa, dia menjelaskan, ada istilah memayu hayuning bawana, yang memiliki makna membuat dunia menjadi indah. Sementara menyembelih kambing kendit, sebagai simbol, sebagai dialektika antara manusia dengan semesta.
"Sehingga wajar tradisi lama itu begitu kuat memiliki hubungan dengan alam semesta. Karena sama-sama hidup. Tuhan tidak menciptakan manusia saja, tapi juga semesta yang juga hidup," jelasnya.
Alasan menyembelih kambing kendit, dia menuturkan jika kambing merupakan binatang endemik. Namun, dalam simbol sedekah tersebut tidak harus selalu kambing.
"Kendit itu simbol kesatuan, kesemestaan. Di perutnya itu ada garis putih yang melingkar, itu artinya juga bertemu. Sehingga artinya holistik, jadi manusia berada di dalam kesemestaan, yang merupakan ide dasarnya," ucapnya.
Dengan adanya bencana banjir yang tengah melanda di Demak, dia menyebut sebagai sebuah introspeksi bagi manusia untuk menjaga alam, tidak hanya memanfaatkannya saja.
(apl/apl)