Ternyata Ini Asal-usul 'Dhul' Jadi Penanda Buka Puasa di Solo

Ternyata Ini Asal-usul 'Dhul' Jadi Penanda Buka Puasa di Solo

Tara Wahyu NV - detikJateng
Sabtu, 16 Mar 2024 15:09 WIB
Suasana Masjid Agung Solo, Sabtu (16/3/2024)
Masjid Agung Solo (Foto: Tara Wahyu NV/detikJateng)
Solo -

Kota Solo mempunyai sebutan unik untuk menyebut waktu berbuka puasa dengan dhul. Seperti apa awal mula kisahnya?

Dhul diketahui merupakan sejenis petasan yang dihidupkan dan melambung ke atas sebagai salah satu penanda berbuka puasa. Petasan Dhul ada sejak tahun 1980-an.

Petasan tersebut dinyalakan di halaman Masjid Agung Solo. Dengan tanda itu, masyarakat Solo akhirnya terbiasa menyebut waktu berbuka puasa dengan sebutan dhul.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sekretaris Masjid Agung Solo, Abdul Basid Rohmad menceritakan dhul sendiri memang identik dengan bulan Ramadan. Sebab, zaman dulu petasan dhul selalu dihidupkan jelang buka puasa.

"Dulu kira -kira tahun 80-an waktu itu saya masih SD, di halaman Masjid Agung ditanam tabung setinggi satu meter. Terus dimasukkan kayak petasan lalu dinyalakan," katanya ditemui detikJateng di Masjid Agung, Sabtu (16/3/2024).

ADVERTISEMENT

Setelah dihidupkan, petasan dhul akan melesat ke udara sebagai tanda berbuka puasa. Setelah dhul dihidupkan masjid-masjid lain kemudian mengumandangkan azan maghrib.

"Bahkan dulu kalau itu (dhul) memang bisa untuk patokan masjid di Solo karena bunyi di udara keras. Sehingga masjid-masjid belum berani azan sebelum dhul bunyi," ceritanya.

Basid menyebut bunyi dhul saat dihidupkan bisa terdengar hingga berkilometer jauhnya. Dia mencontohkan bunyi dhul bisa terdengar hingga Kecamatan Laweyan yang berada di ujung barat Kota Solo.

"Itu luas (terdengar) jangkauannya, sampai Sriwedari hingga Laweyan. Kedengaran kayak kembang api," ucapnya.

Basid mengatakan bahwa nama asli dhul yakni bom udara. Namun karena suara ledakan yang keras sehingga masyarakat menyebutnya dengan dhul.

"Namanya bom udara, tapi karena suara kayak dentuman, jadi nyebutnya dhul," bebernya.

Dari situlah, masyarakat Solo sampai sekarang menyebut waktu berbuka dengan sebutan dhul.

"Dihidupkan saat Ramadan jadi ciri khas terus 'kemarin lihat dhul, terus ke bawah kalau belum dhul, belum buka'. Biasanya menyebutnya gitu," jelasnya.

Ia mengatakan penggunaan dhul sebagai penanda berbuka puasa tidak begitu lama. Sebab, pada tahun 1983 atau 1985, Masjid Agung sudah tidak menggunakan dhul sebagai penanda berbuka.

"Sejak nyala di udara dan penyimpanan terlalu berbahaya dan meledak sama kepolisian tidak diizinkan lagi. Tahun 83 atau 85 nggak hidup lagi, ganti sirene oleh Pemkot dulu sirene di Stadion Sriwedari sekarang di sini (Masjid Agung) juga sirene," bebernya.

Terpisah, Staf Tata Usaha Masjid Agung, Muhammad Farhan menceritakan dulu sempat ada kejadian petasan dhul tidak bisa naik ke udara saat dihidupkan. Beruntung, kala itu dhul itu masuk ke sumur warga.

"Pernah nggak meledak turun kembali, alhamdulillah turun di sumur warga. Nggak ada korban jiwa," beber Farhan.

Usai tak menggunakan dhul sebagai penanda buka puasa, petasan dhul diganti dengan sirene. Sirene masjid yang juga bisa didengar warga.

"Setelah nggak menggunakan itu kita beralih ke sirene, bunyi seperti mobil pemadam jadi penanda buka puasa," pungkasnya.




(ams/ams)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads