Masjid Al Wustho merupakan salah satu masjid bersejarah yang dulunya didirikan Pangeran Sambernyawa, atau dikenal sebagai Mangkunegara I. Bangunannya yang khas, merupakan perpaduan dari arsitektur Jawa dan Eropa.
Masjid yang terletak di sisi barat Pura Mangkunegaran ini merupakan salah satu dari 4 masjid bersejarah, bersanding dengan Masjid Agung, Masjid Kepatihan, serta Masjid Laweyan.
Sekretaris Masjid Al Wustho, Purwanto menjelaskan bahwa dulunya, Masjid Al Wustho memiliki nama Masjid Mangkunegaran yang terletak di Kampung Kauman, Pasar Legi sejak tahun 1757.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Didirikan Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said atau Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I, saat beliau mendirikan kadipaten (Pura Mangkunegaran) kurang lebih tahun 1757," terang Purwanto, saat ditemui detikJateng di Masjid Al Wustho, Jumat (17/11/2023).
"Tidak terletak di sini, tapi di Kauman, Pasar Legi. Sampai 30 tahunan, Mangkunegara I sampai III posisi masjid di sana," sambungnya.
![]() |
Dipindahkan Supaya Salat Tak Terlalu Jauh
Baru setelah era Mangkunegara IV sekitar tahun 1853, masjid dipindahkan di Jalan Kartini, dekat dengan Pura Mangkunegaran.
"Dipindahkan ke sini dengan tujuan ketika para nayaka dalem, sentana dalem, abdi dalem mau salat, salatnya tidak terlalu jauh," tutur Purwanto.
Saat didirikan, bangunan masjid hanya berupa tempat salat tanpa adanya menara, serambi, dan bagian-bagian masjid lainnya. Kemudian di era Mangkunegara VII sekitar tahun 1919, masjid dikembangkan menjadi lebih besar dengan adanya serambi, menara, gapura.
"Memadukan arsitektur Jawa dengan arsitektur Eropa. Pembangunannya bekerjasama dengan arsitektur Belanda, Thomas Karsten. Jadi kejawennya tetap kelihatan, dengan ciri khas joglo, tapi dipadukan dengan arsitektur Belanda yang ciri khasnya melengkung seperti di gapura," tuturnya.
Pada 1926, renovasi masjid pun selesai, dan diadakan Salat Jumat untuk pertama kalinya. Purwanto menerangkan, masjid kemudian diberikan kepada negara pada 1949, dan diberi nama Masjid Al Wustho Mangkunegaran.
"Maknanya adalah tengah-tengah, karena secara geografis terletak di tengah-tengah Kota Surakarta. Kemudian lebih kecil dari Masjid Agung, tapi lebih besar dari Masjid Laweyan dan Kepatihan. Baik dari segi luas tanah, sampai bangunannya," terang Purwanto.
Sama seperti masjid sejarah lainnya, Masjid Al Wustho juga memiliki tiang-tiang penyangga. Purwanto mengatakan, keberadaan tiang ini mengikuti perintah dari Nabi Muhammad SAW.
"Jadi pengingat, kalau kamu ingin menegakkan agama, maka salatlah yang tegak seperti tiang-tiang ini. Makanya simbolnya masjid kuno pasti tidak meninggalkan tiang sebagai penegak untuk menopang atap," ujarnya.
![]() |
Kini Jadi Masjid Ramah Anak
Seiring berkembangnya zaman, kini Masjid Al Wustho sudah jarang menjadi tempat beribadah para anggota Mangkunegaran. Masjid ini juga seringkali diisi jemaah-jemaah yang datang dari luar kota.
"Sebelum negara berdiri (merdeka), semua permasalahan dimusyawarahkan di sini. Setelah negara berdiri, sudah ada lembaga formal, jadi masjid ini untuk tempat sholat yang banyaknya dari musafir, dan tempat pengajian," jelasnya.
Masjid yang sudah berusia sekitar 260-an tahun ini pun sudah dicanangkan menjadi cagar budaya sejak 2015. Bahkan pada 2021, Masjid Al Wustho juga diresmikan sebagai tempat ibadah ramah anak.
"Untuk mendekatkan atau mengubah mindset, jangan sampai anak-anak takut ke masjid. Seperti pengalaman saya dulu waktu kecil setiap ke masjid diusir. Sekarang jangan sampai mindset anak-anak takut ke masjid, sudah sewajarnya memang usia mereka itu senang bermain," imbuh Purwanto.
(apu/ahr)