Surutnya air di Waduk Gajah Mungkur (WGM) Wonogiri memunculkan sejumlah fenomena. Mulai dari kemunculan makam-makam kuno hingga jejak permukiman di kawasan tersebut.
Kemunculan ini diketahui sejak beberapa waktu lalu. Yang pertama terlihat adalah adanya hamparan pemakaman kuno di kawasan WGM. Selanjutnya kemunculan jejak kehidupan warga sebelum perkampungan itu 'ditenggelamkan' untuk pembuatan waduk.
Jejak perkampungan itu merupakan bekas permukiman Desa Betal, Kecamatan Nguntoronadi, Wonogiri. Sisa-sisa bangunan milik warga dan fasilitas umum mulai terlihat seiring terus menyusutnya volume air.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dahulu Betal merupakan salah satu desa di Kecamatan Nguntoronadi. Tetapi, adanya proyek pembangunan WGM, Desa Betal pun 'tenggelam' oleh genangan air waduk.
Setelah berpuluh-puluh tahun, kini jejak desa itu muncul kembali. Sisa-sisa bangunan juga masih terlihat kokoh berdiri, meskipun tidak utuh. Desa itu dikenal dengan sebutan Betal Lawas. Saat ini kawasan Betal Lawas masuk di wilayah Dusun Tenggar, Desa Gebang, Nguntoronadi.
![]() |
Betal Lawas hanya bisa dilihat saat musim kemarau, tepatnya saat air WGM surut. Jarak dari Jalan Raya Wonogiri-Pacitan sekitar lima kilometer. Sementara itu dari permukiman warga berjarak sekitar 1,5 kilometer.
Betal Lawas ini tidak bisa dijangkau dengan sepeda motor. Dari parkiran sepeda motor atau mobil masih harus berjalan sekitar 300-500 meter.
Saat detikJateng lokasi, Senin (18/9/2023), di sekeliling jalan menuju Betal Lawas ada semak belukar yang sudah mengering. Di area sekelilingnya, saat ini ditanami padi oleh warga yang memanfaatkan waduk yang tengah surut. Di persawahan itu, ada beberapa bekas peralatan warga, seperti lumpang yang berserakan.
Berjarak sekitar 50 meter dari kawasan Betal Lawas, masih ada genangan air waduk. Saat sampai di lokasi, tampak beberapa sisa bangunan masih terlihat. Namun tidak ada bangunan yang masih utuh.
Sebagian besar sisa bangunan yang masih terlihat adalah sumur milik warga. Selain itu masih ada bekas kamar mandi hingga tembok rumah. Jarak antarbekas bangunan itu berdekatan.
Semua sisa bangunan yang masih terlihat itu terbuat dari batu bata. Namun semuanya tampak berwarna putih. Hal ini karena saat pembangunannya dulu bahan campuran yang digunakan adalah gamping bukan semen.
Selain itu tampak bekas jalan raya di kawasan Betal Lawas. Bahkan masih ada sebagian aspal yang masih terlihat. Namun sebagian besar sudah hancur, terendam air hingga tertutup tanah.
![]() |
Kepala Desa Gebang, Kadiman (59) mengatakan saat pembangunan proyek WGM, terjadi pemindahan penduduk (transmigrasi) dari Jawa ke Sumatera pada 1978-1980. Secara umum pemindahan penduduk itu disebut dengan bedol desa.
"Saat itu (transmigrasi) saya umur 14 tahun. Kelas 6 SD pas habis (proses transmigrasi). Ada yang ke Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sitiung," kata Kadiman kepada wartawan, Senin (18/9/2023).
Kadiman merupakan salah satu warga setempat yang terdampak pembangunan WGM. Namun tidak ikut transmigrasi. Ia dan keluarganya memilih bergeser ke tempat yang lebih aman dari genangan WGM.
"Kalau kerennya (Kecamatan Nguntoronadi) disebut Betal. Betal itu nama desa di sini, kecamatannya Nguntoronadi. Tidak tahu kok disebut Betal. Nggak tahu mungkin warga banyak harta, terus disebut ngombe lan nguntal (minum dan makan, disingkat betal)," ungkap dia.
Ia menjelaskan, dulu bangunan milik warga di Betal Lawas sebagian besar terbuat dari kayu. Pada saat transmigrasi, kayu-kayu itu dijual. Sementara itu sisa bangunan yang saat ini masih terlihat merupakan bangunan yang terbuat dari bata merah dan gamping.
Kadiman menambahkan, sebenarnya sisa bangunan permukiman Betal Lawas masih banyak dan terlihat. Namun saat ini sudah tertutup sedimentasi. Biasanya setinggi sumur bodongan (setinggi perut). Namun sekarang hanya setinggi lutut.
Baca selengkapnya di halaman berikutnya....
Menurutnya, dimungkinkan bangunan yang saat ini masih muncul bisa hilang beberapa tahun ke depan. Hal itu disebabkan karena sedimentasi waduk.
"Harapannya kalau saat seperti ini (terlihat) jadi wisata (waduk kering). Sejauh ini ada beberapa keluarga yang hampir setiap tahun ke sini. Mungkin ya mengenang mencari tempat tinggalnya dulu," kata Kadiman.
Kemunculan Makam Kuno
Sebelum munculnya jejak permukiman, hamparan makam kuno lebih dulu terlihat saat air di Waduk Gajah Mungkur menyusut. Kompleks makam yang terlihat di tengah waduk itu masuk dalam wilayah Kelurahan Wuryantoro, Kecamatan Wuryantoro. Kompleks itu berjarak sekitar 200 meter dari jalan perkampungan.
Jika air waduk surut seperti saat ini, ada jalan setapak yang bisa dilewati sepeda motor hingga ke dekat kompleks makam. detikJateng pun menengok ke kompleks area makam tersebut.
Di kompleks makam itu, ada batu kijing yang berserakan. Ada juga yang masih utuh, beberapa di antaranya juga ada yang rusak karena terkikis air. Hampir semua kijing di sana berwarna putih dan menyerupai batu.
Sebagian kijing tertulis nama jenazah dan tahun meninggal. Namun rata-rata tulisan itu sudah sulit terbaca. Salah satu kijing yang masih bisa terbaca bertulis 'Kasumawi Jumat Kliwon 16.7.71'.