Sejarah Gerakan Anti Swapraja: Berakhirnya Daerah Istimewa Surakarta

Sejarah Gerakan Anti Swapraja: Berakhirnya Daerah Istimewa Surakarta

Paradisa Nunni Megasari - detikJateng
Minggu, 10 Sep 2023 17:34 WIB
Panggung Songgobuwono di Keraton Kasunanan Solo
Sejarah Gerakan Anti Swapraja: Berakhirnya Daerah Istimewa Surakarta. Foto: Agil Trisetiawan Putra/detikJateng.
Solo -

Kota Surakarta, sebelumnya pernah bernama Daerah Istimewa Surakarta (DIS) sama halnya dengan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Lantas, apa yang menyebabkan dihapusnya DIS? Peristiwa tersebut dikenal dengan gerakan anti swapraja.

Jogja dan Solo merupakan dua wilayah yang memiliki cerita tersendiri di balik sejarah panjang kemerdekaan Indonesia yang berhubungan dengan Belanda. Keduanya merupakan pecahan dari Kerajaan Mataram Islam.

Hingga saat ini, Jogja masih bertahan dengan nama daerah istimewanya. Sementara itu, Surakarta sudah tidak lagi ditetapkan sebagai daerah istimewa karena adanya gerakan anti swapraja.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dikutip dari laman IAIN Surakarta dan Kemendikbud, berikut ini sejarah gerakan anti swapraja.

Pengertian Swapraja

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah "swapraja" memiliki makna sebagai "tanah-tanah kerajaan." Dalam bahasa Belanda, istilah "swapraja" berasal dari kata "Vorstenlanden," yang artinya "Tanah kerajaan." Istilah ini mengacu pada kerajaan-kerajaan (swapraja) yang berada di wilayah Surakarta dan Yogyakarta pada masa penjajahan kolonial.

ADVERTISEMENT

Sistem Swapraja sendiri adalah suatu sistem istimewa yang sangat penting dalam dunia kerajaan, terutama bagi seorang raja. Sistem ini telah ada sejak zaman penjajahan Belanda, di mana setiap raja memiliki hak atas wilayah Swapraja yang digunakan dalam pemerintahannya.

Secara sederhana, Swapraja mengacu pada tanah-tanah kerajaan yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda kepada seorang raja agar dia dapat mengelolanya. Wilayah Swapraja ini, bagaimanapun, terbagi menjadi beberapa bagian sebagai hasil dari perjanjian dan campur tangan pemerintah kolonial Belanda.

Di Daerah Istimewa Surakarta, ada dua penguasa utama, yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran, yang masing-masing mendapatkan bagian dari wilayah Swapraja. Kasunanan mendapatkan sebagian besar, yaitu 4/5 wilayah tanah Swapraja, yang mencakup Kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Sragen.

Sementara itu, Mangkunegaran mendapatkan sisa wilayahnya, yaitu Karanganyar, Wonogiri, dan Baturetno. Pembagian wilayah Swapraja ini, sayangnya, menyebabkan kekuasaan raja semakin terbatas. Sebagai contoh, kekuasaan raja Mangkunegaran di wilayah Swapraja-nya harus sejalan dengan otoritas seorang Gubernur yang ditunjuk oleh pemerintah Hindia Belanda sesuai dengan perjanjian yang ada.


Awal Kemunculan Gerakan Anti Swapraja

Daerah Istimewa Surakarta (DIS) awalnya menggunakan sistem birokrasi tradisional, yaitu dipimpin oleh raja. Raja Surakarta memegang kekuasaan yang luar biasa dan memiliki kontrol penuh atas semua aset dan penduduk yang berada di dalam wilayah kekuasaannya, termasuk harta dan manusianya.

Kemudian, masuk ke masa pemerintahan Kolonial Belanda, sistem birokrasi tradisional ini masih dipertahankan. Keputusan ini diambil dengan sengaja karena Belanda ingin memanfaatkan daya tarik dan pengaruh penguasa tradisional untuk mengendalikan dan mengatur masyarakat. Dengan demikian, tujuan Belanda dapat tercapai tanpa menimbulkan perlawanan yang besar.

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia meraih kemerdekaannya. Setelah itu, proklamasi kemerdekaan disiarkan melalui radio Domei Indonesia dan jaringan telegraf, yang menandai dimulainya Revolusi Indonesia.

Namun, kemerdekaan bukanlah akhir dari konflik. Periode konflik politik yang berkepanjangan antara Indonesia dan Belanda dimulai setelah proklamasi kemerdekaan. Selama periode 1945 hingga akhir 1949, pemerintah Belanda berusaha untuk merebut kembali kendali atas Indonesia. Selain itu, catatan sejarah juga mengungkapkan adanya masalah sosial pada masa tersebut, seperti tindakan kekerasan seperti pembunuhan, pencurian, pemberontakan, dan ketegangan sosial selama Revolusi Indonesia. Masalah sosial ini juga terjadi di Surakarta.

Iklim politik di Indonesia juga menghendaki adanya penghapusan sistem feodal dan kekuasaan tidak terbatas oleh raja.

Revolusi Surakarta

Sunan atau pemimpin Kasunanan Surakarta, tidak menunjukkan dukungannya terhadap gerakan revolusi dan tidak mengambil tindakan yang progresif, sehingga kehilangan dukungan dari rakyatnya.

Masalah sosial yang muncul di Surakarta bercampur dengan gerakan revolusioner di daerah tersebut. Revolusi sosial di Surakarta mencerminkan ketidakpuasan rakyat terhadap pemimpin tradisional dan upaya kekuatan politik untuk menggoyang pemimpin nasional. Rakyat sudah lelah karena mengalami penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, dominasi keraton, dan ketidakpedulian keraton terhadap revolusi.

Semua ini mengarah pada munculnya gerakan anti-swapraja di Surakarta, yang akhirnya mengubah sistem birokrasi tradisional keraton yang telah bertahan selama berabad-abad. Pada tahun 1946, revolusi sosial di Surakarta mencapai puncaknya dengan penculikan Sunan dan beberapa pejabat istana, yang mengejutkan masyarakat.


Gerakan Anti Swapraja

Pada bulan Januari 1946, kelompok oposisi yang tergabung dalam Barisan Banteng menculik orang-orang penting di Keraton Kasunanan Surakarta, yaitu Susuhunan, Kanjeng Ratu, dan Soerjohamidjojo. Mereka melaksanakan penculikan ini dengan tetap menjaga etika dan sopan santun, yang menjadi ciri khas Surakarta, tetapi mereka menahan para pejabat tersebut tanpa hubungan dengan dunia luar selama beberapa hari untuk membuat mereka menyadari ketidakpuasan rakyat terhadap keraton.

Tindakan penculikan dan ancaman yang ditujukan kepada keraton membuat posisi keraton menjadi lebih lemah. Selain itu, kelompok-kelompok di beberapa wilayah yang sebelumnya mendukung keraton menjadi kelompok yang menentang keberadaan keraton. Hal ini memperkuat kekuatan kelompok anti-swapraja yang secara rutin melakukan konsolidasi dan menuntut penghapusan swapraja Surakarta.

Karena semakin berkurangnya dukungan terhadap keraton dan munculnya mosi yang mendapat dukungan mayoritas kekuatan berpengaruh di Surakarta, Susuhunan Paku Buwono XII, Raja Kasunanan Surakarta, akhirnya menyerah. Pada tanggal 30 April 1946, PB XII mengumumkan secara sukarela bahwa mereka akan kehilangan otonomi Surakarta.

Raja Mangkunegaran, Mangkunegara VIII, sebaliknya, tidak setuju dengan kesediaan yang ditunjukkan oleh Susuhunan. Sikap pemerintahan Mangkunegaran ini memicu reaksi keras dari pihak-pihak yang menentang keraton.

Barisan Benteng kemudian berencana untuk menculik Mangkunegara VIII. Serangan telah dilakukan, tetapi belum berhasil. Mangkunegara VIII tetap tidak mau melepaskan hak istimewanya. Situasi ini memperburuk ketegangan dan menimbulkan kekhawatiran di kalangan pegawai dan penduduk sekitar. Mereka mulai khawatir tentang kemungkinan terjadinya pemberontakan kembali. Pengumuman ini juga telah mencapai beberapa kelompok yang berlawanan di Surakarta. Salah satu pemimpin kelompok oposisi ini adalah Tan Malaka, dan kelompok oposisi ini memiliki tujuan yang sama, yaitu menentang pembentukan daerah istimewa dan mendesak Mangkunegara VIII untuk melepaskan hak istimewa tersebut. Kekuatan Barisan Benteng bertambah.

Pemerintah pusat pun ingin menghapus status swapraja keraton dan mengintegrasikan Surakarta ke Provinsi Jawa Tengah. Kemudian pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No. 16/SD/1946 tanggal 15 Juli mengubah status swapraja keraton dan menggabungkan Surakarta ke dalam Jawa Tengah.

Meskipun Mangkunegara VIII awalnya keras kepala, penerbitan peraturan tersebut membuatnya pasrah dan menyerah, diikuti oleh Susuhunan XII. Mangkunegara VIII juga mengeluarkan pengumuman yang menunjukkan ketaatan pada pemerintah pusat serta pengakuan kedaulatan NKRI, serta bersumpah untuk bergabung dengan NKRI.

Pengumuman ini mendapat dukungan positif dari pegawai istana Mangkunegaran dan penduduk sekitarnya. Akhirnya, revolusi sosial di Praja Mangkunegaran, yang menelan banyak korban jiwa, berakhir. Ini juga menandai akhir dari hak swapraja dan kekuasaan wilayah-wilayah yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Praja Mangkunegaran.


Demikian penjelasan mengenai gerakan anti swapraja yang mengakhiri kedudukan Daerah Istimewa Surakarta. Semoga bermanfaat, Lur!




(apl/apl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads