Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung akan dibangun di genangan Waduk Gajah Mungkur (WGM). Rencana pembangunan itu menuai penolakan dari warga.
PLTS terapung itu rencananya akan dibangun di genangan WGM yang masuk wilayah Desa Boto, Kecamatan Baturetno, Wonogiri. Sementara, penolakan sebagian warga muncul dalam acara sosialisasi dan konsultasi publik pembangunan proyek PLTS terapung di Pendapa Rumah Dinas Bupati Wonogiri hari ini.
Ada beberapa hal yang menjadi dasar penolakan warga. Di antaranya nelayan akan kesulitan menangkap ikan. Sebab, PLTS itu rencananya akan didirikan di area yang sering buat mencari ikan saat kemarau. Petani yang kerap memanfaatkan lahan pasang surut juga dikhawatirkan bakal terdampak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski demikian, ada pula beberapa warga yang sepakat dengan pembangunan PLTS terapung itu.
"Masyarakat baru menerima informasi terkait dampak pembangunan. Belum mendapatkan informasi lebih jauh terkait hal lain. Masyarakat masih ngambang, masih menolak. Karena ada kekhawatiran," kata Kepala Desa Boto, Edi Suroso Bambang Setiawan, Kamis (25/5/2023).
Edi mengatakan, salah satu hal yang dikhawatirkan warga yaitu pembangunan PLTS berada di lokasi yang sangat digantungkan warga. Terlebih warga yang bekerja sebagai nelayan.
"Perairannya pas cekungan. Saat kemarau airnya di situ dan banyak ikannya. Nah lokasinya di situ (pembangunan PLTS). Warga inginnya kalau bisa dipindah," ungkap dia.
Jika tidak bisa dipindah, kata Edi, warga meminta solusi agar kelangsungan hidup mereka tetap terjamin. Misalnya, pekerjaan lainnya bisa dipastikan atau dijamin.
Edi menuturkan, sebelumnya belum ada sosialisasi kepada warga terkait hal itu. Namun sudah pernah ada pemberitahuan pada tahap menggambar letak lahan yang akan dipakai.
"Saat itu desa mendapatkan surat. Namun suratnya diantarkan petugas setelah proses dimulai. Ada sedikit keterlambatan (mengantar surat)," ujar dia.
Edi mencatat ada empat kelompok nelayan di desanya yang terdampak pembangunan itu. Setiap kelompok terdiri dari 80-100 kepala keluarga (KK). Sedangkan petani penggarap lahan pasang surut ada sekitar 40-60 KK.
"Sekitar 450-an (warga yang terdampak). Suara warga memang menolak. Mereka meminta solusi atas program pembangunan itu. Saat ini warga menunggu solusi," Edi.
Menanggapi hal itu, Manager Generation Business Development PLN Indonesia Power, Puguh Anantawidya mengatakan sosialisasi sengaja dilakukan untuk menjadi media konsultasi dan partisipasi masyarakat. Jika ada kekhawatiran atau dampak bisa diantisipasi.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
"Kita tampung tanggapannya. Nanti bisa kita membuat model atau simulasi desain seperti apa yang bisa meminimalkan dampak terhadap masyarakat. Akan ada sosialisasi lanjutan. Sekaligus dengan opsi desain yang bisa meminimalkan dampak bagi masyarakat," katanya.
Puguh mengakui akan adanya dampak pembangunan yang tidak bisa dihindari. Namun dalam hal itu ada solusi yang ditawarkan. Di antaranya wisata edukasi.
Terkait lokasi pembangunan, menurutnya, lokasi itu akan dimaksimalkan. Sebab di lokasi itu saat pasang dan surut masih tergenang air.
"Kurang lebih di titik itu. Kalau pindah mungkin diubah layout-nya saja. Apakah memanjang, lebar atau bagaimana jadi dioptimalkan. Nanti kita berdasarkan masukan masyarakat," papar dia.
Puguh menerangkan, PLTS terapung WGM merupakan pembangkit listrik yang dihasilkan dari energi matahari. Pembangkit listrik itu digadang-gadang menggantikan energi fosil ke depannya. Adapun kapasitasnya mencapai 100 megawatt.
Ia menambahkan, area yang dibutuhkan untuk PLTS terapung sekitar 130 hektar di genangan WGM. Selain itu, luas area darat sekitar 7,89 hektare. Tidak menutup kemungkinan lahan darat seluas 7,89 hektare bisa saja tidak digunakan semuanya.
"Listrik yang dihasilkan dari PLTS terapung akan terkoneksi ke gardu induk. Dari PLTS, listrik langsung menuju ke grid kemudian dialirkan ke daerah yang membutuhkan. Kalau grid itu bisa lebih dari dua kabupaten ya mestinya," jelas dia.
Puguh mengatakan rencananya PLTS terapung ditargetkan selesai pada awal 2024. Menurutnya program itu adalah program akselerasi. Sehingga ada sejumlah proses yang bisa dilakukan percepatan. Normalnya pekerjaan konstruksi membutuhkan waktu 12 bulan, namun bisa dipercepat.
"Kalau nilainya kurang tahu pasti. Mungkin sekitar 80 juta dolar, sekitar 1 triliunan," pungkasnya.