Kisruh Pelantikan Rektor UNS Dinilai Jadi Catatan Buruk Otonomi Kampus

Kisruh Pelantikan Rektor UNS Dinilai Jadi Catatan Buruk Otonomi Kampus

Afzal Nur Iman - detikJateng
Senin, 10 Apr 2023 13:36 WIB
Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Kamis (10/3/2022).
Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Kamis (10/3/2022). Foto: dok UNS.
Semarang -

Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS) terpilih, Sajidan, mendadak dianulir oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Ironisnya pembatalan ini dilakukan beberapa hari menjelang dilantik. Pakar Pendidikan Unnes, Edi Subhkan menilai hal itu sebagai catatan buruk otonomi kampus yang menyandang status PTNBH.

"Kalau lihat dari rilis yang diedarkan oleh Majelis Wali Amanat (MWA) dari UNS juga menunjukkan kementerian itu sebenernya nggak jelas dasarnya kan, nggak jelas argumentasinya pasal apa yang dilanggar," ujarnya.

Sajidan yang sedianya akan dilantik pada 11 April, batal menyandang gelar rektor setelah Permendikbud Ristek Nomor 24 Tahun 2023, terbit. UNS merilis keputusan itu pada 3 April lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

UNS menjadi kampus PTNBH pertama yang hasil pemilihan rektornya dianulir oleh pemerintah. Padahal, PTNBH lekat dengan slogan otonomi kampus.

"Kalau yang teranulir UNS ini yang pertama tapi kalau kisruh di dalam tubuh perguruan tinggi negeri yang beralih status jadi PTNBH itu bukan yang pertama," katanya.

ADVERTISEMENT

Dia juga mengamini bahwa ada kemungkinan Sajidan batal menjadi rektor karena tak direstui pemerintah pusat.

"Bisa saja dan ini merugikan jadi katanya kampus diberikan otonomi tapi ternyata nggak juga," ujar dosen di Fakultas Ilmu Pendidikan Unnes itu.

Edi menyebut beberapa kasus terkait kisruh terhadap pemilihan rektor di beberapa kampus berstatus PTNBH. Di antaranya UI, Undip, dan UNS. Menurutnya, jabatan rektor di kampus berstatus PTNBH memang lebih seksi.

"Ini akhirnya menimbulkan masalah karena ketika MWA ini mekanisme untuk menentukan anggotanya itu merepresentasikan macam-macam itu kan sangat politis sekali dan banyak orang akan tergoda masuk di dalamnya. Karena dia punya kekuasaan lebih besar di kampus untuk bisa menentukan masa depan kampus termasuk juga visi, seperti apa operasionalnya, kerjasamanya dan sebagainya itu," jelasnya.

"Dominan itu posisi rektor yang dia juga menjadi anggota dari MWA itu sendiri," katanya.

Selengkapnya di halaman berikut.

Di sisi lain, intervensi pemerintah dalam kampus berstatus PTNBH masih terlihat. Pemerintah dinilai hanya melepas otonomi kampus dari sisi keuangan atau pemasukan.

"Ternyata pemerintah nggak ngelepasin intervensi dan akademiknya jadi otonominya itu otonomi keuangan, tapi campur tangan pemerintah masih besar jadi ini inkonsisten," ucap Edi.

Edi berharap ada diskusi lebih jauh untuk membangun iklim akademik dan demokrasi di kampus. Terutama dalam struktur kampus PTNBH.

"Misalnya dari PTNBH itu MWA-nya berapa mekanisme pemilihannya seperti apa, itu mestinya klir, mestinya akuntabel. Ini sebenarnya sering kali tidak diperhatikan karena yang menjadi perhatian utama pemilihan MWA itu kan bagaimana kampus itu bisa berjalan terutama income generiknya itu banyak, pemasukannya itu banyak lebih ke arah untuk survival kampus itu sendiri," pungkasnya.

Halaman 2 dari 2
(apl/sip)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads