Tanah yang subur, panorama yang indah, serta sejuknya udara merupakan pesona alam yang membuat dataran tinggi Dieng selalu menarik untuk dikunjungi. Di sana banyak pula terdapat peninggalan sejarah seperti candi dan ratusan arca yang menjadi magnet bagi wisatawan.
Namun di balik itu, dataran tinggi Dieng juga menyimpan potensi bencana alam yang harus diwaspadai. Salah satunya ancaman gas beracun karbondioksida (CO2) dari Kawah Timbang yang pernah menelan 149 korban jiwa pada 20 Februari 1979.
Kisah pilu yang terjadi 44 tahun silam itu dikenal dengan tragedi Sinila. Sinila adalah nama salah satu kawah yang tidak jauh dari Kawah Timbang. Bencana gas beracun ini mengakibatkan 147 korban warga Desa Kepucukan, Kecamatan Batur, Banjarnegara, meninggal dunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan dua korban jiwa lainnya adalah relawan dari luar Desa Kepucukan yang saat itu hendak menolong para korban. Nahas, kedua relawan itu ikut menghirup gas CO2 hingga akhirnya meninggal dunia.
![]() |
Kini, Desa Kepucukan hanya tinggal nama. Secara adminitrasi, desa tersebut sudah tidak ada lagi. Usai tragedi Sinila sebagian warganya pindah ke Baturaja, Sumatera Selatan. Sedangkan warga lainnya pindah ke desa tetangga, seperti Desa Sumberejo dan Desa Pekasiran di Kecamatan Batur, Banjarnegara.
Seperti apa kisah tentang bencana gas CO2 yang menewaskan 149 jiwa itu?
Tragedi ini masih terekam dengan jelas dalam ingatan Kepala Desa terakhir Desa Kepucukan, Sutikno. Pria 69 tahun ini menceritakan, gempa beruntun mengawali peristiwa yang terjadi pada tahun 1979 itu. Tepat pukul 02.20 WIB, terjadi erupsi di Kawah Sinila.
"Sebelumnya ada gempa. Bahkan sebelum Kawah Sinila erupsi terjadi gempa lama. Dan sekitar pukul 02.20 WIB, kawah Sinila erupsi," kata Sutikno saat dihubungi detikJateng, Minggu (22/1/2023).
Jarak Kawah Sinila dengan permukiman yang hanya dua kilometer. Warga sekitar pun panik. Saat itu warga berbondong-bondong meninggalkan rumah mereka demi menyelamatkan diri.
"Warga panik dan takut karena khawatir lahar dari Sinila masuk ke desa, kemudian lari ke barat lewat jalan besar saat itu untuk menuju SD Kepucukan," Sutikno mengenangkan.
Nahas, warga yang mencoba menyelamatkan diri ke SD Kepucukan itu menghirup gas beracun dari Kawah Timbang. Sebagian warga meninggal dunia di jalan.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
"Warga yang saat itu lari ke SD Kepucukan malah menjadi korban gas beracun. Karena di dekat situ ada rekahan gas beracun, sampai meninggal dunia," ujar Sutikno.
Mengetahui ada warga yang tergeletak di jalan, dia menjelaskan, warga yang belum sampai ke SD Kepucukan pun memilih berhenti. Mereka bertahan di dekat area permakaman, tidak melanjutkan perjalanan ke SD Kepucukan.
"Yang berhenti di makam itu selamat. Posisi makam kan tinggi, jadi bisa melihat warga tergeletak terkena gas beracun itu," kata Sutikno yang kini tinggal di Parakan, Kabupaten Temanggung.
Dia menambahkan, ribuan warga yang selamat dari gas beracun itu kemudian mengungsi ke beberapa tempat. "Ada yang mengungsi ke Karangkobar, Batur, Banjarnegara. Ada juga yang sampai Purbalingga," sebutnya.
Adapun dua relawan yang hendak menolong warga dan akhirnya juga meninggal dunia itu adalah seorang guru di SD Kepucukan dan seorang sopir.
"Ada guru yang hendak menolong ikut menghirup gas itu kemudian meninggal. Dan ada lagi sopir yang mau menolong juga meninggal. Saat itu (sopir) baru sampai, mesin kendaraannya mati. Dia meninggal masih di dalam mobil," pungkas Sutikno.
Sorot Balik merupakan rubrik khusus di detikJateng untuk mengulas kembali secara lengkap kasus-kasus besar dan jadi sorotan yang pernah terjadi di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).