Seorang pria bernama Darman, tinggal di tempat yang tidak lazim pada umumnya. Kakek berusia 77 tahun ini tinggal di hutan sejak tahun 1965 lalu.
Kisah hidup Darman terbilang memprihatinkan, tinggal di hutan tanpa listrik. Hanya berbekal lampu sentir atau teplok, terbuat dari botol kaca terisi minyak tanah dan diberi sumbu.
Darman bermukim di kawasan hutan petak 147, RPH Ngrawoh, BKPH Ngandong, KPH Ngawi, turut Desa Ngrawoh RT 03 RW 01, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora. Ia tinggal bersama istrinya, Wagiyem dan adik iparnya, Karinem.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rumah ala kadarnya, potongan-potongan papan kayu ditempelkan dijadikan sebagai tembok, masih berlubang sehingga tidak tertutup sempurna. Kerap ditemui penyangga rumah kayu sudah lapuk, tergerus rayap. Sangat sederhana, pintu dan sebagian rumah hanya berbahan kulit kayu jati.
Rumah Darman menghadap ke selatan itu berada di dataran tanah yang bisa dibilang cukup tinggi. Terdapat beberapa pakaian terletak menggantung. Ada radio kecil tak terpakai karena rusak.
Kalender 2023 tampak tergantung sebagai pengingat weton hari dan tanggal. Juga ada sarung terikat di salah satu pilar rumah.
Untuk menuju ke rumah tersebut harus melintasi hamparan hutan jati jaraknya kisaran 46 kilometer dari pusat Kota Blora. Sementara jaraknya dari permukiman warga terdekat sekitar dua kilometer dan hanya bisa melalui jalan setapak.
Jalan setapak itu juga terjal hingga hanya bisa ditembus kendaraan beroda dua.
![]() |
Setibanya di rumah Darman, detikJateng disambut ruang tamu dengan kursi panjang dan meja yang terbuat dari kayu. Terdapat dua kendi terbuat dari tanah liat di atas meja. Penerangan sederhana ublik (lampu teplok) siap menerangi gelapnya malam mereka. Di dekat pintu masuk, ditaruh dipan tempat tidur beralas kain biru beserta tiga bantal.
Darman tercatat dalam kependudukan lahir di Blora, pada 1945. Begitu juga Wagiyem istrinya, tercatat lahir di Blora pada 1954. Masa kecil Darman tinggal di Desa Gempol, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora. Kemudian saat bujangan, dia memilih pergi meninggalkan rumah kelahiran untuk tinggal di hutan.
"Sudah ada 22 tahun tinggal di rumah ini. Ya di mbaon (hutan garapan) sini. Sebelumnya pindah-pindah. Sejak kecil, tahun 1965 sudah di hutan," ucap Darman ditemui di rumah beralas tanah itu, Kamis (6/1/2023).
detikJateng disambut hangat olehnya, dengan suguhan kopi dan ramahnya penghuni. Darman yang terbiasa sehari-hari dengan telanjang dada. Ia penyandang disabilitas, berjalan dengan bantuan tongkat karena memiliki riwayat sakit di bagian kaki kanan.
Ia tidak ingat kapan pastinya dan apa diagnosa dokter atas penyakit yang diderita. Penyakitnya tak menjadikan semangatnya surut untuk menempuh hidup yang bertetangga dengan hutan.
"Di mbaon tanam jagung, biasanya juga ketela. Tiap hari jaga, kalau tidak, ya bisa diserang landak dan celeng (babi hutan)," kata dia.
Darman memiliki dua anak, Wasis dan Wardi yang keduanya sudah menikah. Sempat hidup seatap dengan Darman, kedua anaknya itu kini tinggal bersama istri di permukiman di luar hutan yang jadi tempat tinggal orang tuanya.
Sementara itu Wagiyem, adik tiri dari istri Darman, menderita gangguan penglihatan.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, keluarga Darman harus berjalan kaki turun ke desa.
"Masak pakai kayu. Kalau nasi, beras beli harus turun ke Ngrawoh (Kradenan, Blora). Kalau tak punya uang, ngebon (hutang), setelah panen dibayar," imbuh Wagiyem.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.
Selain menjaga tanaman jagung di hutan garapan yang berada di sebelah kanan rumahnya, Darman juga bekerja membuat arang yang dijual seharga Rp 25 ribu per karung.
Bertempat tinggal yang jauh dari tetangga menjadi pilihan Darman karena tidak memiliki lahan untuk tempat tinggal. Dingin udara dan pedasnya gigitan nyamuk seolah tak dirasakannya lagi.
"Mau gimana lagi, di dusun tidak punya tempat. Tiyang sepuh banget sugihe (ungkapan satire yang menerangkan orang tuanya sangat miskin). Malam kadang dingin kadang gerah. Nyamuknya banyak, saya pakai bediang (asap dari pembakaran jerami untuk mengusir nyamuk)," terang pria renta berambut putih ini.
Dalam sehari-hari warga sekitar juga bekerja serupa di sekitar rumah Darman, sikap ramahnya tak membuat orang-orang ragu bersalam sapa. Terlebih beberapa peralatan tani seperti cangkul, sabit, semprotan air petani hingga pemotong rumput modern milik warga dititipkan di rumah tersebut.
Besar harapan Darman sekeluarga untuk tetap terus bekerja menyambung hidup. Meski berjalan menggunakan bantuan tongkat kayu.
"Kerja apa adanya saja. Mau gimana lagi, beli tanah tidak bisa. Saat ini kalau sakit ya di Ngrawoh beli obatnya. Hidup di hutan bagi saya ya tidak berat. Sudah biasa, nyaman," kata Darman.