Nelayan kecil di Kota Tegal, Jawa Tengah memilih menyandarkan kapal selama cuaca ekstrem. Selama tidak melaut, mereka hidup dengan mengandalkan utang.
Dampak cuaca ekstrem di Kota Tegal, bisa dilihat dari banyaknya perahu yang sandar di sekitar muara Sungai Kemiri, Kelurahan Muarareja. Kebanyakan adalah kapal kecil dengan ukuran di bawah 5 GT.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Tegal Riswanto mengatakan dari total sekitar 400 kapal kecil di Kota Tegal, 70 persennya tidak melaut akibat cuaca buruk. Sebagian kecil memang ada yang nekat melaut karena untuk memenuhi kebutuhan harian.
"Sudah sejak dua minggu lalu, teman-teman nelayan selalu memonitor kondisi cuaca dan alam," kata Riswanto, Jumat (30/12/2022).
HNSI selalu memberikan imbauan kepada nelayan untuk waspada dengan cuaca buruk, khususnya gelombang tinggi. Sebab jika dipaksakan melaut pun, hasil tangkapan yang didapat tidak bisa menutup biaya operasional.
Selama masa paceklik ini, Riswanto berharap, pemerintah kota bisa mendistribusikan bantuan beras paceklik untuk nelayan. Karena saat cuaca buruk seperti ini mereka kehilangan pendapatan dan terpaksa harus menganggur.
"Kami upayakan bantu komunikasikan ke dinas agar ada (beras paceklik). Harapannya bisa direalisasikan oleh dinas terkait," katanya.
Waud (47) nelayan asal Muarareja mengatakan nelayan dengan perahu ukuran kecil sangat rentan dengan gelombang besar. Bila dipaksakan, beresiko membahayakan keselamatan jiwa.
"Setiap hari biasa melaut di pinggiran, cari ikan kecil, cumi dan udang. Berangkat subuh pulang jam tengah hari. Karena cuaca buruk, terpaksa libur dulu. Di pinggiran saja, ombaknya 1 sampai 2 meter, bisa terbalik kapal kalau maksa berangkat," tutur Waud disela memperbaiki jaring mengisi kekosongan waktu.
Pria ini mengaku sudah dua pekan tidak melaut akibat cuaca ekstrem. Namun kata dia, sesekali kadang memanfaatkan celah saat gelombang sedikit reda untuk melaut. Tindakan nekat Waud ini didasari karena tuntutan ekonomi.
"Kalau sedikit reda kita nekat berangkat. Tapi itu pun tidak bisa full sehari. Berangkat pagi, dapat satu atau dua tarikan terus pulang sekitar jam 09.00 atau 10.00 karena harus berhadapan dengan ombak besar," kata Waud, Jumat (30/12/2022).
Selanjutnya baca halaman berikutnya
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski sudah terbilang nekat, tetap saja hasil yang didapat tidak sebanding dengan biaya operasional yang dikeluarkan. Dengan pengeluaran Rp 240 ribu untuk solar dan bekal, hasil yang didapat hanya laku Rp 200 ribu. Kata dia, saat musim ombak besar, ikan memang sulit untuk ditangkap.
Terkait imbauan untuk tidak melaut, Waud sudah mengetahuinya. Ke depan, dia pun akan memilih berdiam di rumah sambil menunggu cuaca normal kembali. Selama menganggur, dia mengaku hanya bisa mengandalkan utang untuk memenuhi kebutuhan sehari hari.
"Apa yang diandalkan, tidak ada. Kalau tidak punya uang ya utang dulu untuk makan sehari hari," aku nelayan ini.
Nasib serupa juga dialami oleh Taufik (37), nelayan Muarareja lainnya. Sama dengan Waud, dia juga tidak punya persiapan bekal selama menganggur. Dia berharap, bantuan beras paceklik segera dibagikan untuk membantu nelayan selama tidak melaut.
"Kalau boleh saya usul, beras nelayan supaya dibagikan saat seperti ini. Karena memang banyak yang tidak melaut," harap Taufik.