Tanggal 26 Oktober 2010 atau 12 tahun lalu, Gunung Merapi erupsi dahsyat. Kejadian itu menjadi pengalaman tak terlupakan bagi warga lereng Merapi di perbatasan Jawa Tengah-DIY.
Termasuk pula masyarakat Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, yang masuk wilayah Kawasan Rawan Bencana (KRB) 3 erupsi Gunung Merapi. Salah satu saksi sejarah adalah Neigen Achtah, warga setempat yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Desa Tlogolele.
"Jadi pengalaman letusan 2010 itu memang bagi saya pribadi itu sangat menyisakan pengalaman yang sangat luar biasa bagi pengalaman pribadi saya. Waktu itu saya masih tim siaga desa," kata Neigen mengawali cerita pengalamannya terkait erupsi Merapi 2010 kepada detikJateng, Rabu (26/10/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Neigen menjelaskan, sebagai tim siaga desa waktu itu dia menjadi koordinator logistik. Pada hari itu, dia bersama teman-temannya tim siaga desa berada di Balai Desa Tlogolele.
Sore itu sekitar pukul 18.00 WIB, lanjut dia, terjadi letusan besar. Suara dentuman keras dia dengar dari dalam gudang logistik Balai Desa.
"Ketika pukul 18.00 WIB lebih berapa itu, terjadi letusan, dung. Waktu itu posisi saya masih di dalam gudang logistik. Ketika saya keluar, semua orang sudah pergi. Bahkan tim SAR yang tadinya mendirikan posko mereka tunggang-langgang, bahkan sepeda motor ditinggal di lokasi itu," cerita Neigen.
Para petugas, relawan dan masyarakat Desa Tlogolele juga panik untuk segera lari menyelamatkan diri. Bahkan kendaraan truk yang digunakan untuk mengevakuasi warga juga ditinggal di tengah jalan. Sopir dan penumpangnya turun lari.
"Saat itu saya melihat ke (arah) puncak Merapi terlihat seluruh puncak Merapi berwarna merah, benar-benar api (semua), tidak menyisakan celah mana pun. Semua merah," kata dia.
"Waktu itu saya juga panik. Tapi panik masih tenang untuk menyikapinya. Saya masih melihat kondisinya larinya ke mana, oh warnanya (puncak Merapi) merah. Akhirnya saya tetap masih membawa masker dan di situ ada teman relawan yang dari atas juga turun bawa mobil, terus saya naik di mobil," sambung Neigen.
Setelah naik mobil, lanjut dia, bersama teman relawannya tidak langsung turun ke tempat pengungsian yang lebih jauh dari puncak Merapi. Namun berkeliling desa dari dukuh ke dukuh sembari mengamati situasi dan kondisi Merapi.
"Setelah itu kita putuskan, kita naik lagi. Ada masyarakat kami, masyarakat Tlogolele yang masih ada di atas. Makanya kita naik pelan-pelan sambil mengamati kondisi Merapi yang sudah berwarna merah semua," imbuhnya.
Selengkapnya di halaman selanjutnya...
Hingga radius sekitar 4 km dari puncak Merapi, dia pun berhenti. Masyarakat dari dukuh-dukuh paling atas di Desa Tlogolele yang saat itu turun untuk mengungsi diminta segera cepat berlari.
"Karena mobil yang kita bawa tidak mungkin menampung seluruh masyarakat. Setelah itu kita turun ke Dukuh Tlogolele. Seluruh masyarakat sudah terkumpul di sana. Tidak ada yang terkecuali, mungkin ada beberapa warga yang masih tinggal di rumahnya," terangnya.
Selanjutnya warga dibawa turun mengungsi ke lapangan Sawangan, Kabupaten Magelang. Namun Neigen bersama tiga temannya masih tetap berada di desanya untuk memantau kondisi Merapi. Dari hari ke hari, Merapi terus mengalami erupsi dahsyat. Setiap hari terdengar suara dentuman dan gemuruh yang mengarah ke Kali Gendol, Sleman itu.
"Selang dua hari, tiga hari Desa Tlogolele masih bersih belum ada abu setetes pun. Setelah empat hari kami masih stay di desa, terus kami mendapat perintah bahwa tim logistik dan beberapa teman kami tim siaga harus turun karena kita melihat kondisi di Magelang, mereka harus di pindah ke Mertoyudan. Harus pindah lebih jauh," lanjut dia.
![]() |
Setelah sekitar dua bulan mengungsi di wilayah Magelang, warga Desa Tlogolele pun pulang. Situasi di desa saat itu sudah tertutup abu vulkanik yang sangat tebal.
"Pengalaman (erupsi) 2010 itu ya benar-benar membuat kita lebih, membuat diri saya sendiri lebih kuat mentalnya, lebih mengedepankan perikemanusiaan terhadap orang-orang di sekitar saya," ujar Neigen.
Menurut dia, kejadian erupsi 2010 itu juga telah membuat masyarakat Desa Tlogolele lebih tanggap terhadap bencana. Jika pada erupsi tahun 2006, masyarakat susah untuk dievakuasi atau diajak mengungsi, tapi dengan kejadian 2010 itu masyarakat lebih siap siaga menghadapi bencana Merapi.
"Karena setelah pengungsian itu, mereka pulang satu minggu di rumah, dua minggu di rumah itu masih ada dentuman, suara gemuruh itu masih ada. Dan setiap ada gemuruh pasti mereka langsung ini harus gimana, harus lari ke mana," tandasnya.