Para penyintas 1965 masih teringat jelas tentang era rezim otoriter Soeharto yang begitu keras terhadap siapa saja yang dianggap memiliki paham kiri. Mereka akan ditangkap, disiksa tanpa diadili.
Hal itu juga terjadi di sejumlah kampus waktu itu. Seperti dilansir detikX, Rabu (12/10/2022) salah satu kampus yang juga menerapkan pemberangusan terhadap mereka yang dituding berseberangan adalah UGM.
Hal ini diungkapkan oleh saksi hidup kekejaman waktu itu, Mukir Nadi. Saat peristiwa G30S meletus pada 1965 dirinya berstatus sebagai seorang mahasiswa semester tujuh di Jurusan Psikologi Fakultas Pedagogik Universitas Gadjah Mada (UGM).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mukir yang tidak pernah bersentuhan dengan paham kiri tiba-tiba dikaitkan dengan peristiwa tersebut. Imbasnya, statusnya sebagai seorang mahasiswa pun dilucuti.
Puncaknya pada 10 November 1965, ia dipanggil ke Kodim Sleman dan tidak diperbolehkan pulang.
Mulanya Mukir masuk UGM pada 1961 melalui sebuah tes yang diakuinya tidak mudah. Beruntung, saat itu ia tidak dikenai biaya karena adanya program kuliah gratis dari pemerintah pusat.
Selama kuliah, Mukir memilih tidak aktif di organisasi kemahasiswaan. Saat itu di UGM terdapat dua organisasi mahasiswa yang paling mencolok, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI).
"Memang saat itu ada CGMI dan HMI yang saling bersaing. Kalau HMI ini suka melakukan perpeloncoan, kalau CGMI biasanya kerja bakti programnya. Tapi saya ini mahasiswa biasa, tidak ikut keduanya," kenang Mukir saat ditemui reporter detikX.
Saat menuturkan kisah hidupnya ini, usianya telah senja dan akrab disapa dengan sebutan Mbah Mukir. Pada 1962, Mukir mendirikan sebuah sekolah gratis dan ia bertindak sebagai kepala sekolah.
Sayangnya, umur sekolah tersebut tidak lama. Saat peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S, semua guru ditangkap, termasuk Mukir.
"Murid saya banyak yang lebih tua dari saya. Kami nggak ngurus politik, hanya pendidikan, tapi dianggap sekolah kiri dan dibubarkan. Uniknya, dulu ada murid saya ikut mukuli saya di penjara," tuturnya.
Mukir ditahan di penjara Wirogunan. Di sana ia menjalani pemeriksaan sekaligus penyiksaan. Keluarga para tahanan diminta mengirimkan beras secara berkala. Namun, menurut Mukir, para tahanan hanya diberi makan jagung.
Baca berita selengkapnya di halaman berikutnya...
Di Wirogunan, Mukir ditahan bersama 98 akademisi UGM. Bukan hanya mahasiswa, tetapi juga dosen, termasuk salah satunya ia sebut sebagai Dekan Fakultas Hukum.
"Banyak yang mati, yang tidak ketemu, yang hilang tanpa bekas, banyak," ujarnya.
Tidak berhenti di sana, ayah Mukir juga ditahan. Awalnya sang ayah hanya berusaha mencari keberadaan Mukir dan bertanya ke kantor militer setempat. Sayangnya, ia justru juga ditahan.
Ayahnya ditahan pada 19 November 1965 dan meninggal dunia di Nusakambangan pada Maret 1966. Mukir akhirnya bebas pada 18 Maret 1970 dan memperoleh surat keterangan: orang tersebut tidak ada bukti-bukti menurut hukum tersangkut langsung atau tidak langsung peristiwa G30, maka perlu dibebaskan.
Sayangnya, Mukir tidak lagi bisa melanjutkan pendidikannya di UGM, yang sebenarnya telah menginjak semester akhir.
"Saya ini tidak ada rasa dendam, sudah terlatih menderita. Maka kalau Komnas HAM itu tanya simbah tuntutannya apa, laksanakan hukum secara baik. Kalau saya dianggap salah, ya disidang, diputuskan salah saya apa. Tapi secara pribadi, saya sudah selesai dengan masalah saya. Rekonsiliasi non-yudisial itu ya sudah, yang sudah ya sudah," pungkasnya.