Masalah penggunaan ajudan kembali menjadi sorotan setelah mencuatnya kasus pembunuhan Brigadir Yoshua atau Brigadir J, ajudan mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo. Namun, sejarah juga mencatat ada ajudan terbaik di Indonesia yang mendapatkan gelar pahlawan. Dialah Kapten Pierre Tendean.
Di Garis Depan Malaysia
Dikutip dari buku Pierre Tendean karya Masykuri (Departemen P & K, 1983), Pierre Tendean bernama lengkap Pierre Andries Tendean. Anak kedua dari Dr A L Tendean, dokter berdarah Minahasa, dan Maria Elizabeth Cornet, wanita Belanda berdarah Prancis, ini lahir di Jakarta pada 21 Februari 1939.
Ketika bersitegang dengan Malaysia pada 1963-1964, Presiden Soekarno akhirnya mencetuskan Dwikora (Dwi Komando Rakyat). Sejak itu pemerintah Indonesia mengirimkan sejumlah sukarelawan dari kalangan ABRI maupun masyarakat sipil ke Malaysia. Mereka bertugas menggagalkan pembentukan federasi Malaysia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat Dwikora dicetuskan, Pierre Tendean berpangkat Letda (Letnan Dua), menjabat sebagai Komandan Peleton pada Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II Bukit Barisan di Medan. Setelah menamatkan pendidikan di Sekolah Intelijen di Bogor, Letda Pierre ditugaskan memimpin suatu kelompok sukarelawan yang mengadakan penyusupan ke Malaysia.
"Satu tahun lamanya Letda Pierre Tendean bertugas di garis depan, menyusup ke daerah Malaysia. Selama satu tahun itu ia bersama-sama dengan pasukannya tiga kali berhasil memasuki daerah musuh dengan sukses," tulis Masykuri dalam bukunya (hlm.22).
Di balik kesuksesan itu, Pierre Tendean adalah satu-satunya anak lelaki yang sangat disayangi keluarganya. Prihatin akan nasib anaknya di garis depan, ibunya berusaha agar Pierre segera dapat ditarik kembali.
Kebetulan lbu Tendean adalah kawan baik dari mertua Jenderal AH Nasution yang saat itu menjabat Menko Hankam KASAB. Singkat cerita, permohonan itu dikabulkan. Letda Pierre kemudian ditarik dari tugas khususnya.
Jadi 'Rebutan' 3 Jenderal
Sepulang dari Malaysia, Pierre Tendean justru menjadi 'rebutan' antara Jenderal AH Nasution, Jenderal Hartawan, dan Jenderal Dendi Kadarsan. Sebab, ketiga jenderal itu telah mengenal bakat dan kepribadiannya. Akhirnya, Jenderal A H Nasution yang menang.
Sejak tanggal 15 April 1 965, Letda Pierre Tendean dinaikkan pangkatnya menjadi Lettu (Letnan Satu) dan ditugaskan sebagai Ajudan Menko Hankam KASAB Jenderan Nasution. Lettu Pierre menggantikan ajudan sebelumnya, Kapten Manulang, yang gugur di Kongo.
Saat itu Jenderal AH Nasution mempunyai empat ajudan, salah satunya Lettu Pierre Tendean yang baru berumur 26 tahun. Menurut Masykuri, Lettu Tendean sebenarnya tidak begitu tertarik dengan tugasnya yang baru itu.
Kisah gugurnya Lettu Pierre Tendean di halaman selanjutnya...
"Kalau diperkenankan, setelah bertugas setahun sebagai ajudan, ia akan meminta tugas lain kepada atasannya," tulis Masykuri (hlm. 26). Namun, tugas menjadi ajudan itu menggembirakan orang tuanya karena dianggap lebih aman.
Gugur dalam Peristiwa G 30 S
Seperti diketahui, Lettu Pierre Tendean merupakan salah satu perwira militer yang menjadi korban dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G 30 S). Dalam peristiwa itu, Lettu Pierre diculik dan dibawa ke Lubang Buaya karena dikira sebagai Jenderal AH Nasution, salah satu target penculikan dalam gerakan tersebut.
Dalam buku Masykuri dikisahkan, saat gerombolan penculik menyerbu rumah Jenderal AH Nasution, Lettu Pierre Tendean kepergok keberadaannya. Saat dibentak oleh anggota gerombolan itu, Pierre menjawab, "Saya Ajudan Jenderal Nasution."
Mendengar nama Nasution disebut, seorang di antara mereka membunyikan peluit sebagai tanda bahwa usaha penculikan telah selesai. Rupanya, perkataan 'ajudan' yang disebut Pierre tidak mereka dengar, sehingga mereka menganggap itulah Nasution.
Pada 5 Oktober 1965, Lettu Pierre Tendean ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia. Sebagai penghormatan atas jasanya, pangkatnya dinaikkan menjadi Kapten. Hingga kini Pierre Tendean masih dikenang. Namanya pun diabadikan sebagai nama-nama jalan protokol di sejumlah kota besar di Indonesia.