Suatu hari di Kudus, akhir November-Desember 1948. Dalam penantian diangkut ke Jogja menggunakan kereta khusus bersama sejumlah tawanan penting lain, Amir Syarifudin meminta sebuah buku kepada Kapten Soeharto, perwira yang mengurusnya saat itu.
Dalam suatu wawancara dengan Soe Hok Gie di Jakarta pada 1967, eks Kapten Soeharto mengatakan waktu itu buku satu-satunya yang dia miliki adalah Romeo and Juliet karangan Shakespeare.
"Menurut Soeharto, Amir membaca buku ini ketika menantikan keberangkatannya ke Jogja. Amir duduk sendiri di kereta api yang sengaja dikosongkan untuknya," tulis Gie dalam skripsinya tahun 1969, yang kemudian dibukukan dengan judul Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan (Yayasan Bentang Budaya, 1997).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika ia sampai di stasiun Jogja, Gie melanjutkan, rakyat berjejal-jejal untuk melihat wajah bekas Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan Republik Indonesia ini. Ia kelihatan tenang melihat rakyat yang berjubel-jubel di stasiun melalui jendela kereta.
Dalam skripsi berjudul asli Simpang Kiri Sebuah Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun September 1948 untuk mendapatkan gelar sarjana dari Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, Soe Hok Gie menuliskan Amir Syarifudin adalah bekas Menteri Pertahanan dan anggota Politbiro CC PKI.
Perjuangan Amir Syarifudin
Amir Syarifudin memulai karier dalam Kongres Pemuda II (Oktober 1928) yang mencetuskan Sumpah Pemuda. Kemudian, ia menjadi pengikut Sukarno dalam Partindo (Partai Indonesia) dan akhirnya memimpin Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia).
Pada zaman Jepang ia dipenjarakan karena ikut gerakan bawah tanah. Soe Hok Gie kemudian mengutip Laporan Dari Banaran, kisah pengalaman seorang prajurit selama perang kemerdekaan karya TB Simatupang (1960).
"Mereka yang pernah mengenalnya dari dekat akan tetap memelihara kenang-kenangan kepada seorang manusia yang baik dan peramah, seorang pemikir yang cepat kadang-kadang brilian, seorang orator yang dalam keulungan pidato hanya kalah oleh Bung Karno, seorang pejuang dan pekerja yang tabah dan tidak memikirkan kepentingan dirinya sendiri."
Amir bersama sejumlah rekannya ditahan di penjara Benteng Yogyakarta. Mereka tenang-tenang saja dan tetap menunjukkan kebesarannya. Dari Jogja, mereka kemudian dipindahkan ke Solo.
Tentang 'Malam Eksekusi di Karanganyar', silakan baca di halaman berikutnya...
Malam Eksekusi di Karanganyar
Akhirnya pada 19 Desember 1948 tengah malam di Kampung Ngalihan, Kelurahan Lalung, Kabupaten Karanganyar, 20 penduduk disuruh menggali lubang sedalam 1,7 meter untuk penguburan 11 tawanan politik pemerintah yang diangkut ke desa itu.
Amir sempat bertanya kepada seorang kapten TNI yang memimpin di sana, mereka mau diapakan. "Saya tentara, tunduk atasan, disiplin," kata sang kapten. Liang lahat usai digali, 4 penduduk diminta tetap tinggal untuk mengubur sedangkan lainnya disuruh pergi.
"Seorang letnan menjelaskan adanya surat perintah Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto untuk menembak mati tawanan-tawanan tersebut (Gie, 1997:273)." Sebelum ditembak, Amir meminta agar mereka diberi kesempatan untuk menyanyi sebentar.
Mereka kemudian menyanyikan Indonesia Raya dan lagu Internasionale (lagu kaum buruh sedunia). Setelah itu pelaksanaan hukuman mati dimulai.
Nasionalisme Amir Syarifudin
Sejarah arus utama mencatat Amir Syarifudin sebagai tokoh komunis yang terlibat dalam pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Dia juga lebih dikenal atas 'kegagalannya' selama dua kali menjabat Perdana Menteri RI di era Demokrasi Parlementer.
Namun, sebelum terlibat dalam Peristiwa Madiun 1948, Amir Syarifudin dikenal sebagai salah satu tokoh empat serangkai yang memimpin republik ini masa zaman revolusi mempertahankan kemerdekaan. Empat serangkai itu adalah Sukarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Amir Syarifudin.
Sebelum Indonesia merdeka, Amir Syarifudin juga dikenal sebagai salah satu pelaku Sumpah Pemuda (Jong Batak) 1928 dan pejuang anti-Jepang. Karena memimpin gerakan bawah tanah, dia pernah ditangkap Jepang dan sempat dijatuhi hukuman mati. Berkat lobi-lobi dari Sukarno-Hatta, Jepang akhirnya meringankan hukumannya jadi penjara seumur hidup.
Hanya sedikit karya yang mengisahkan sisi lain Amir Syarifudin. Salah satunya buku Amir Sjafiroeddin: Nasionalisme yang Tersisih karya Yema Siska Purba (PolGov, 2013). Buku yang juga diangkat dari skripsi penulisnya di jurusan Politik dan Pemerintahan UGM ini mengangkat topik nasionalisme Amir Syarifudin.
Dalam buku Amir Sjafiroeddin: Nasionalisme yang Tersisih karya Yema Siska Purba (PolGov, 2013) disebutkan, pada awal kemerdekaan, masyarakat bergerak sendiri. Semua bebas, hingga terjadi chaos dan pertempuran di beberapa tempat. Solusi dari hal tersebut menuntut adanya seorang pemimpin yang memberi komando.
"Sukarno bukanlah orang pertama yang ditunjuk sebagai Presiden RI, melainkan Amir. Yang menjadi kendala, saat itu Amir masih dipenjara dan diperkirakan telah dibunuh Jepang sehingga keberadaannya meragukan," tulis Yema mengutip dari buku Hesri Setiawan, Negara Madiun: Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan.
"Sjahrir adalah calon berikutnya -tetapi ia menolak- sementara Tan Malaka tidak diketahui keberadaannya. Akhirnya, tonggak kepresidenan diserahkan ke tangan Sukarno-Hatta (Yema, 2013:46)".