Kisah Mr Sartono dan Kondektur Kereta Api yang Difitnah Komunis

Kisah Mr Sartono dan Kondektur Kereta Api yang Difitnah Komunis

Tim detikJateng - detikJateng
Rabu, 10 Agu 2022 04:01 WIB
ilustrasi Hari Pahlawan Masa Kini
Ilustrasi. Foto: Ilustrator Andhika Akbarayansyah
Solo -

Pejuang kemerdekaan yang lahir di Wonogiri Jawa Tengah pada 5 Agustus 1900 ini sudah jarang terdengar namanya. Pada masa pemerintahan Presiden Sukarno, pakar hukum dari Universitas Leiden ini beberapa kali menjadi menteri.

Di balik nama besarnya, ternyata ada beberapa kisah menarik ketika ia membela kasus yang menjerat pribumi, salah satunya seorang kondektur kereta api yang difitnah komunis. Berikut kisahnya.

Tentang Mr Sartono di Leiden

Dikutip dari buku Mr. Sartono Karya dan Pengabdiannya yang ditulis Nyak Wali AT (Departemen P dan K, 1985), Sartono adalah anak kedua dari Raden Mas Martodikarjo, pegawai Pemerintah Mangkunegaran, Surakarta.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagai anak keluarga bangsawan pada masa kolonial Belanda, pada 1922 Sartono bisa menempuh pendidikan hingga ke Fakultas Hukum Universitas Leiden Belanda. Di Leiden, Sartono aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI), organisasi pergerakan nasional yang beranggotakan mahasiswa dan masyarakat Belanda.

Lulus dari Leiden pada 1926, Sartono pulang dengan gelar meester in de rechten atau magister hukum. Di tanah air, Sartono dan teman-temannya mendirikan kantor advokat di Kota Bandung. Di Bandung inilah Sartono memulai perjuangannya sebagai advokat muda pembela rakyat kecil.

ADVERTISEMENT

Kisah Mr Sartono dan Kondektur KA

Meski advokat-advokat pribumi itu baru berumur sekitar 25 tahun, mereka berani melawan tindakan hukum pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Tak hanya menangani kasus-kasus hukum di Bandung, mereka juga bergerak ke seluruh Jawa Barat (Nyak Wali AT, hlm 39).

Ada beberapa kisah menarik ketika Mr Sartono membela beberapa pribumi yang dituduh terlibat dalam pemberontakan komunis. Salah satu kasus yang ditangani Mr Sartono menjerat seorang kondektur kereta api dari Tasikmalaya. Jasin namanya.

Saat itu Jasin dituduh ikut dalam pemberontakan komunis oleh pemerintah kolonial Belanda. Menurut Nyak Wali AT, kasus Jasin itu sebenarnya tak lebih dari pada fitnah belaka.

Namun, Jasin sudah terlanjur teraniaya dan diancam hukuman berat. Setelah dibela mati-matian oleh Mr Sartono dan teman-temannya, Jasin akhirnya dapat dihukum ringan kemudian diinternir atau diasingkan ke Digul.

Jasin terbilang beruntung jika dibandingkan dengan seorang haji asal Banten yang juga dituduh ikut dalam pemberontakan komunis. Meski sudah dibela Mr Sartono dan teman-temannya, pribumi yang diduga korban fitnah Belanda itu tetap dihukum mati.

Kesadaran Berjuang di Jalur Politik

Meski berat melawan hukum buatan Belanda yang dimainkan para advokat senior, Mr Sartono dan teman-temannya tak kenal menyerah. Dengan modal secukupnya, mereka membuka cabang kantor advokat di Jakarta.

"Ini semua karena cukup banyaknya tuduhan fitnahan dari pemerintah Hindia Belanda kepada rakyat Indonesia yang harus dibela." (Nyak Wali AT, hlm 40).

Meski dua klien korban tuduhan semena-mena itu akhirnya tetap dihukum, kasus-kasus itu menyadarkan Sartono akan pentingnya berjuang dari berbagai sisi, termasuk di jalur politik.

Seperti diketahui, Mr Sartono termasuk salah satu tokoh yang turut terlibat dalam pendirian Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) oleh Ir Sukarno, dr Cipto Mangunkusumo, dan lain-lain dalam pertemuan di Bandung pada 4 Juli 1927. PNI kemudian berganti nama jadi Partai Nasional Indonesia, salah satu cikal bakal perjuangan kemerdekaan lewat jalur politik.




(dil/ahr)


Hide Ads